Aksi Massa
Tan Malaka (1926)
Ditulis oleh Tan Malaka pada
tahun 1926 di Singapura.
Sumber: Diambil dari buku "Aksi Massa" terbitan Teplok Press,
2000.
Dimuat ke HTML oleh Ted
Crawford dan Ted Sprague.
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS
I. REVOLUSI
II. IKHTISAR TENTANG
RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar Negeri
2. Bangsa Indonesia yang
Asli
3. Pengaruh Hindu
4. Kegundahan (Pesimisme)
Empu Sedah
5. Tarunajaya
6. Diponegoro
III. BEBERAPA MACAM
IMPERIALISME
1. Berbagai Cara Pemerasan
dan Penindasan
2. Sebab-Sebab Perbedaan
3. Akibat dari Berbagai
Macam Cara Pemerasan dan Penindasan
a. India
b. Filipina
c.
Indonesia
IV. KAPITALISME INDONESIA
1. Kapitalisme yang Masih
Muda
2. Tumbuh Tidak dengan
Semestinya
3. Kapital Indonesia Itu
Internasional
V. KEADAAN RAKYAT
INDONESIA
1. Kemelaratan
2. Kegelapan
3. Kelaliman dan Perbudakan
VI. KEADAAN SOSIAL
VII. KEADAAN POLITIK
1. Tinjauan ke Belakang
a. Pokok Undang-Undang
Minangkabau
b. Perwakilan Rakyat atau Soviet
PENGANTAR PENULIS
Alles was besteht ist wert,
dass es zu Gruende geht.
(Mephistopheles)
Asia sudah bangun!
Lambat laun bangsa-bangsa
Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.
Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bi lamana dan dimana bendera
kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalam
nya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan da pat menunjukkan halkah
rantai yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang yang mengikat
perbuda kan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia
benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Imperialisme Belanda lebih
tua dan lebih kuno dari pada imperialisme Inggris dan Amerika, dipisahkan oleh
satu lembah yang tak dapat diseberangi dari jajahannya. Negeri Belanda, karena
tidak mempunyai bahan-bahan untuk industrinya, dari dahulu hanya mengusahakan
per tanian dan perdagangan.
Penjabaran kapitalnya dari
permulaan abad ini ke se luruh Indonesia sangat luasnya.
Pusat industri Belanda
sekarang terletak di Indone sia, sedang pusat perdagangan dan keuangannya ada
di negeri Belanda. Bankir, industrialis dan saudagar tinggal di negeri Belanda,
sedang buruh dan tani di Indonesia. Jika kita perhatikan kedua lautan yang
memisahkan Be landa dengan Indonesia itu, serta tidak pula kita lupakan
perbedaan bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat antara penjajah dan si terjajah,
antara pemeras dan siterperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari
pergaul an yang luar biasa di dunia imperialisme waktu seka rang. Luar biasa,
sebab kaum modal bumiputra tak ada. Jadi, titian antara negeri Belanda dengan
Indonesia pu tus sama sekali.
Ketiadaan kaum modal
bumiputra yang sifatnya hampir bersamaan dengan imperialisme Belanda (sama sama
mau menggencet buruh dan tani) menyebabkan imperialisme Belanda sukar sekali
membereskan krisis eko nomi di Indonesia. Dimanakah ada di Indonesia tuan-tu an
tanah bumiputra seperti di Mesir, India dan Filipina yang dapat menunjang kaum
imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi mereka? Dan
dimanakah ada kaum modal bumiputra yang kuat, yang meminta-minta kekuasaan
dalam politik perekonomian-nya seperti di India?
Tuan-tuan tanah Indonesia
yang sedikit berarti telah lama menjadi gembala, kuli atau kuli tinta!
Bangsa-bang sa Eropa, Tionghoa dan dan Arab menguasai semua per dagangan besar,
menengah ataupun kecil! Bangsa Indo nesia yang menengah atau yang kecil telah
lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang silam oleh pema sukan
barang-barang pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan
sengaja dilengahkan oleh Be landa, kaum intelektual jadi kurang. Sebab itu,
kendati pun kaum saudagar bumiputra seperti India, mau menyokong mereka
mendirikan industri, toh tidak akan berhasil.
Sebab ketiadaan kaum modal
tuan tanah bumiputra itu, maka setiap aksi parlementer dari partai nasional ma
na pun tidak berguna. Bagaimanakah "bapak gula" dan "nenek
minyak" di negeri Belanda akan dapat memberikan hak pemilihan umum kepada
bangsa Indonesia?
Atau dengan lain arti:
mempercayakan kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan buruh yang miskin?
Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri tuan-tuan tanah dan kaum
modal bumiputra yang akan mereka wakili di parlemen, tentulah akan berlainan
keadaan itu. Dan cakap angin tentang "perubahan dalam pemerintahan di
Indonesia" ada juga artinya sedikit. Imperialis Belanda berangsur-angsur,
lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan itu kepada bangsa
Indonesia yang cakap dan jujur. Bukan kah melindungi modal bumiputra, sebagian
juga berarti melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah seka rang ini
nyatalah bahwa flap pemerintahan bangsa Indo nesia haruslah tunduk kepada
kemauan modal asing yang besar-besar. Dan pemerintahan seperti itu tak akan
diakui sebagai berasal dari rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya, Indonesia tak mempunyai
faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari
perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkung an imperialisme Belanda.
Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai kemerdekaan dalam arti yang seluas –luasnya
dengan jalan menguasai setengah, tiga perempat, hingga tujuh per delapan
parlemen lenyap buat selama nya. Impian seorang makhluk seperti Notosuroto yang
mengangan-angankan Nederlandia Raja akan tetap jadi lamunan orang yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya
jika kekua saan politik ada di tangan rakyat. Dan Indonesia akan mendapat
kekuasaan politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan aksi politik yang
revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.
Dewan Rakyat kadang-kadang boleh
dimasuki! Teta pi bukan dipergunakan sebagai senjata yang sah untuk memperoleh
pemerintahan nasional yang bertanggung jawab penuh dengan perantaraan Dewan
Rakyat bekerja sama dengan imperialis Belanda. Tetapi guna mengembangkan usaha
revolusioner hingga ke dalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan aksi-aksi
parlementer samalah dengan seseorang di Gurun Sahara yang mem bum fatamorgana.
Tetapi siapa yang mempergunakan sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang
teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu seumpama "ayam pulang ke
kandangnya".
Soal kemerdekaan Indonesia bukanlah satu
soal yang terbatas di Indonesia saja, yang dapat dipecahkan dengan perantaraan
kongres dan putusan-putusan yang lembek di Dewan Rakyat, jangan dikata lagi
dengan perantaraan kelakar-kelakar ekonomi dan kebudayaan di warung kopi. Soal
itu mempunyai hubungan yang sangat rapat de ngan kekuasaan Barat terhadap
bangsa berwarna di benua Timur.
Salah satu sebab — dan ini bukan sebab
yang terkecil — mengapa Amerika tidak juga memberikan kemerde kaan yang
seluas-luasnya kepada orang Indonesia Utara (Filipina) yang menurut perkataan
kawan ataupun lawan nya telah lama matang (seperti kata surat-surat kabar
imperialisme Amerika di Manila) adalah bahwa kemerde kaan Filipina berarti satu
pemberontakan dan penyembelihan di Asia melawan kekuasaan kulit putih (a
general re volt in Asiatic countries against white authority, uprising being
attended by slaughter). Kelepasan Indonesia (pu sat arti
ilmu bumi dan peperangan Asia, penduduk
lima kali lebih besar dari Filipina dan dengan perdagangan in ternasional)
mustahil tidak berarti sebagai satu pistol yang ditujukan kepada kekuasaan
Barat terutama Inggris di Asia.
Belum lama ini bekas putra mahkota
Wilhelm mene rangkan kepada seorang wakil dari United Press di Locarno yang
diumumkan oleh radio ke seluruh dunia, bah wa bila manusia yang berjuta-juta di
Asia pada satu hari bergerak memukul Anglosakson (Inggris, Prancis dan Be
landa) niscaya bangsa Melayulah yang pertama kali akan menyebabkan kesusahan.
Pengharapan imperialistis dan sindiran macam apakah yang dimaksud putra mahkota
yang senewen itu, bagi kita tetap nyata: bahwa Indonesia sekarang bukan
Indonesia pada beberapa tahun yang lalu.
Indonesia telah mengambil tempat yang
penting dalam barisan berjuta-juta manusia di Asia.
Karena itu, kemenangan yang diperoleh
dengan jalan damai dan parlementer sama sekali tak boleh dipikirkan. Bukankah
hal serupa itu tepat mengganggu ketentraman kapitalis di Timur? Bila suatu hari
Indonesia terlepas dan mempertahankan kemerdekaannya dari musuh-musuh dalam dan
luar negeri, tentulah hal tersebut ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni
yang disebabkan oleh ak si massa: dari massa dan untuk massa.
Kalau penjajahan Belanda selama 300
tahun itu tidak berupa perampokan (membunuh habis industri bumiput ra) niscaya
derajat kaum intelektual kita jauh berbeda dari keadaan sekarang! Dan kita
tentulah mempunyai sema ngat kecerdasan (inteligensia) yang menurut asal, didikan
dan perasaan menjadi pemuka dari tuan-tuan tanah, in dustri, saudagar dan
pegawai bumiputra. Pun juga akan timbul pergerakan demokrasi dan kemerdekaan
nasional yang bersifat kerja sama (kompromis) dengan bangsa Be landa atas
pertolongan buruh dan tani seperti di
India, Mesir dan Filipina lebih kurang.
Atas ketiadaan kaum modal bumiputra,
intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia melayang-layang di antara rakyat dengan
pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan ingin mengorbankan diri seperti yang
ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri lain. Ia tidak mempunyai alat-alat pera
saan, pemikiran yang mendekatkan dirinya kepada mas sa (rakyat murba).
Disebabkan imperialis, kaum intelek tual kita jauh dari massa.
Mereka tidak mempunyai satu kesaktian
yang dapat mempengaruhi dan menarik hati rakyat. Kaum intelektual kita tidak
beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk menggerakkan mereka, membuat
aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum terpelajar
yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka dan belum menjadi
buruh terpelajar.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka
menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah mereka banyak, tentulah mereka
akan luntanglantung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industri dengan
penuh "kegembiraan" dalam medan perjuangan.
Kecepatan timbulnya kelas intelektual,
kekecewaan terhadap Budi Utomo (B.U.) dan National Indische Party (N.I.P.)
serta kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka ke jurusan yang lain.
Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri beberapa pal (1 pal = 1.5
kilometer) jauhnya dari mas sa serta dalam keaktifan dan politik terjejer
sangat jauh di belakang dibandingkan dengan kelas mereka di lain ko loni,
tetapi
mereka telah mulai bangun dari tidur.
"Jubah malaikat" dari Notosoeroto telah dilemparkan mereka, dan mulai
bersetuju kepada aksi-aksi revolusioner. Seka rang dari beberapa universitas di
negeri Belanda yang jauh itu berdengung-dengung suara mereka hingga kedengar an
oleh kaum intelektual yang ada di Indonesia.
Tetapi harapan buruh dan tani di
Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja dari intelektual itu. Mereka
menghendaki perbuatan atau buktibukti.
Selama kaum terpelajar kita melihat
bahwa perjuang an kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah
perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah
keluar dari kamar be lajar menyeburkan diri ke dalam politik revolusioner yang
aktif.
Gelombang pemogokan, pemboikotan dan
demon strasi yang beralun-alun setiap hari bertambah besar, me lalui rapat
nasional menuju ke Federasi Republik Indone sia, inilah jalan mereka, tidak
lain!
Tan Malaka
REVOLUSI
Revolusi itu bukan sebuah
ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang
manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam
membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat
diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan
hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam katakata
yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari
pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang
menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi,
sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin
beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar
jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin
besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana
yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu
dijalankan dengan "kekerasan".
Di atas bangkai yang lama
berdirilah satu kekuasaan baru yang menang. Demikianlah, masyarakat feodal
didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini sekarang
berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan mencapai "satu
masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas", lain halnya jika semua
manusia yang ada sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi proses : warden
undvergehen, yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai
pergaulan hidup yang tidak mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap)
masih muda, semua perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi
(dibereskan) oleh agama
yang bermacam-macam;
perjuangan golongan menyerupai keagamaan, umpamanya pertentangan Brahmanisme
dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang dengan gelap), Mosaisme
dengan Israilisme, kemudian Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada
hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan
politik.
Kemudian sesudah ilmu dan
percobaan menjadi lebih sempurna, sesudah manusia melemparkan sebagian atau
semua "kepicikan otak" (dogma), setelah manusia menjadi cerdas dan
dapat memikirkan soal pergaulan hidup, pertentangan kelas disendikan kepada
pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia
tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama,
tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang merusakkan atau memperbaiki
kehidupannya. Di seputar ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia dinamakan
cita-cita pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah segenap keaktifan politik
ditujukan. Tatkala kehidupan masih sangat sederhana dan terutama tergantung
kepada pekerjaan tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang
mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, "boleh menaiki
singgasana dengan pertolongan pendeta dan bangsawan", menguasai nasib
berjuta-juta manusia.
Cara pemerintahan serupa itu
menjadi sangat sempit tatkala teknik lebih maju dan feodalisme yang sudah
bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru, yaitu
"borjuasi" yang menguasai cara penghasilan model baru (kapitalisme),
merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka meminta supaya
pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan pemerintah boleh
"diangkat" atau "diturunkan" oleh rakyat. Cita-cita politik
borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian
hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem penghasilan dan pembagian
(distribusi yang kapitalistis).
Tatkala raja dan para
pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam nyala
revolusi. "Revolusi borjuasi" tahun 1789 sebagai buah pertentangan
yang tak mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme menjadikan negeri
Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian berturut-turut
pecah di seluruh Eropa.
Nasib raja Prancis (yang
digulingkan) diderita juga oleh raja Rusia yang mencoba-coba mengungkung
borjuasi dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan kekerasan di dalam
sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita revolusioner berjalan terus
tanpa mengindahkan adanya pukulan, peluru dan siksaan yang tak terlukiskan
walaupun dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di dalam gua-gua yang gelap, di
dalam tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara yang mesum, dingin dan
sempit itu, angan-angan dan kemauan revolusioner memperoleh pelajaran yang tak
ternilai. Kerajaan, gereja dan Duma (parlemen di Rusia) dalam
waktu yang singkat habis disapu oleh
gelombang revolusioner yang tak terbendung. Dalam revolusi buruh bulan November
1917 kelihatan bahwa kelas buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi
borjuasi.
Raja Inggris, George III, yang tak
mengindahkan riwayat negerinya sendiri menyangka bahwa armada yang kuat dan
kebesaran kekayaannya dapat merintangi tumbuhnya kesosialan. Bangsa Amerika
Utara dengan tak mengindahkan jumlahnya yang kecil, kurangnya pengalaman dalam
soal penerangan, uang dan lain-lain alat material, dapat mencapai
kemerdekaannya sesudah mengadakan perlawanan habis-habisan yang tak kenal lelah
itu.
Baru setelah kungkungan ekonomi dan
politik berhasil diputuskan dari imperialisme Inggris, dapatlah Amerika Utara
melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam
riwayatnya.
Seandainya ia belum dua kali menceburkan
diri kedalam revolusi (pada tahun 1860), Amerika Utara tak akan dikenal dunia
selain sebagai Australia dan Kanada. Revolusi sosial bukanlah semata-mata
terbatas di Eropa saja, tetapi merupakan kejadian umum yang tidak bergantung
kepada negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang 60 tahun yang lalu (1868) menghancurkan
sekalian hak-hak feodal dengan perantaraan revolusi? Sesudah kejadian itu,
lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.
Pendeknya dengan jalan revolusi dan
perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!),
maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari
kungkungan kelas dan penjajahan. Revolusi bukan saja menghukum sekalian
perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai
segenap perbaikan dari kecelaan.
Di dalam masa revolusilah tercapai
puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pi masyarakat baru.
Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak
mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi,
niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.
Revolusi adalah mencipta!
II
IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar Negeri
Riwayat Indonesia tak mudah
dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian,
dongengan-dongengan, karangankarangan dan pertentangan. Tak ada seorang jua
ahli riwayat dari Kerajaan Majapahit atau Mataram yang mempunyai persamaan
dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman 1400 tahun yang silam,
seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah
mengenal ahli riwayat yang jujur. Paling banter kita cuma mempunyai
tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan pelbagai macam
keindahan dan kegemilangan supaya tertarik hati si pendengar. Tetapi meskipun
demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar kejadian
yang sesungguhnya. Tak usah terlampau jauh kita langkahi batas itu, niscaya
berjumpalah dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan
riwayat-riwayat negeri kita. Diantara kekusutan-kekusutan dalam karangan itu,
terbayanglah kebenaran, tampaklah Kepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan dan
kota-kotanya yang berdiri dan kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap,
berperang, kalah dan menang, kekayaan, kesentosaan, dan pasang-surut kebudayaan
dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri bahwa di Malaka, Sumatera dan Jawa berdiri
negeri-negeri yang besar. Di Borneo Tengah pun ada satu kerajaan yang agaknya
tak seberapa kurangnya dari Kerajaan Majapahit. Di sana berdiri kota-kota yang
besar penuh dengan gedung dan
perhiasan yang indah-indah,
sebagaimana yang dibuktikan oleh barang-barang yang dijumpai di dalam tanah
hingga waktu sekarang.
Dapat pula dipastikan, bahwa
Indonesia belum pernah melangkah keluar dari masyarakat feodalisme, dan bahwa
ia jauh tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani jauh lebih tinggi dari
bangsa Indonesia — dalam hal ini Majapahit bila kerajaan ini dianggap sebagai
tingkatan yang setinggi-tingginya — dalam hal pemerintahan negeri, politik,
ilmu hukum dan kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah mengenal
cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad pemerintahan itu bukan untuk dan
milik rakyat. Perkataan: "Bagi Tuankulah, ya, Junjunganku, kemerdekaan,
kepunyaan dan nyawa patik," pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat
Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di sana tak ada Orachus, Magna Charta dan tak
ada pengetahuan yang diselidiki dengan betul-betul seperti yang dipergunakan
Aristoteles, Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-gedung dan
ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan. Keajaiban Borobudur kita
tak seajaib segitiga Pythagoras, sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang
yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai macam pengetahuan. Di manapun tak
ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan pikiran!
Biarlah, tak usah kita
ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas pikiran; tambahan
lagi bangsa Barat di Zaman Kegelapan (Abad Pertengahan) pun sudah mengenal itu.
Lagi pula, kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit jua, bahwa
masyarakat kita senantiasa memperoleh dari luar dan tak pernah mempunyai
cita-cita sendiri. Agama Hindu, Budha dan Islam adalah barang-barang impor,
bukan keluaran negeri sendiri.
Selain itu, cita-cita ini
tak begitu subur tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa Barat. Mesin
penggerak segenap pemasukan agama Hindu, Budha dan Islam sampai kepada masa
kedatangan kapitalisme Belanda, serta semua perang saudara di waktu itu adalah
berada di luar negeri.
Indonesia adalah wayangnya
senantiasa, dan luar negeri dalangnya.
2. Bangsa Indonesia yang
Asli
Di zaman dahulu, tatkala
bangsa Indonesia asli didesak oleh bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar negerinya
— Hindia-Belakang — dan melarikan diri ke Nusantara Indonesia, mereka telah
mempunyai suatu peradaban. Pak tani di zaman itu menjelma menjadi bajak laut
yangsangat
buas dan ditakuti orang. Dengan Vintas (semacam perahu) kecilnya, mereka
mengarungi seluruh kepulauan antara dua lautan besar, antara Amerika dan
Afrika. Penduduk asli dari India dan Oceania ditaklukannya. Rimba raya hingga
puncak gunung dijadikannya huma. Rumah yang bagus-bagus didirikannya, permainan
dan pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur menyembah kepada
pedang Jengis Khan dan Timurleng serta lari ketakutan, waktu itu mereka bukan
saja menentang, tetapi dapat pula mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut
bernama Pakodato dari Kerajaan Singapura di Semenanjung Tanah Melayu pada tahun
500 dapat menggeletarkan Kerajaan Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada
serta pedangnya.
3. Pengaruh Hindu
Agaknya hawa tropika di lingkungan
katulistiwalah, yang terutama menyebabkan teknik kita tak maju. Hawa yang subur
dan melemahkan itu, serta sedikitnya penduduk, menjadikan kaum tani yang senang
hidupnya itu, tinggal diam dan menerima, sedangkan kepulauan yang sangat banyak
itu menarik hati penduduk di pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman.
Menurut riwayat dapat diketahui bahwa, sesudah dibawa pengaruh Hindu,
kebudayaan mereka bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas.
Kejadian itu berlangsung sesudah bangsa kita bercampur darah dengan
penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini terbayanglah dalam benak kita
kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh kejadian-kejadian itu, yang
membangkitkan tenaga terpendam itu jadi dinamis. Bukan oleh percaturan hidup
kita sendiri (melawan atau antara kelas-kelas) maka penguraian kita perihal
teknik kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan pengaruh
yang datang dari luar.
Biarlah kita tinggalkan di sini perihal
peraturan matriarchaat (pusaka turun kepada kemenakan) di Minangkabau yang
berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya yang terpencil. Dengan
mendirikan demokrasi satu-satunya di Indonesia, kita tinggalkan pula riwayat Sriwijaya
dan kerajaan lain-lain di Pulau Jawa, dengan menunjukkan garis-garis yang besar
saja. Agama bangsa Indonesia, animisme, didesak oleh agama Hindu dan Budha,
demikianlah kata orang kepada kita. Bangsa yang lebih pintar itu mengajarkan
pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa
yang suka damai itu belum mempunyai pertentangan kelas dalam anti yang
seluasluasnya. Mereka tidak memberi kesempatan kepada pengikut-pengikut agama
Hindu untuk mempertaruhkan kepercayaan mereka dalam sebuah pertentangan, yakni
Hinduisme yang aristokratis dan Budhisme yang lebih demokratis. Ketajaman
pertentangan agama, oleh masyarakat Jawa yang tidak mengenal kelas itu, dapat
diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk Pulau
Jawa yang asli. Siwa, Wisnu, dan dewa-dewa agama Budha yang di negeri asalnya
satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah, hidup bersama di Pulau Jawa dengan
damainya.
Dalam hal yang seperti itu, Islam pun
datang dan akhirnya mengambil kedudukan Hindu dan Budha. Penduduk Jawa sekarang
adalah "kristalisasi" dari bermacam-macam agama ketuhanan dan agama
dewa-dewa (animisme). Ia bukan seorang animis, bukan seorang Hindu, bukan
seorang Budha, bukan seorang Kristen dan bukan seorang Islam yang sejati.
Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam pikirannya.
4. Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah
Di kerajaan Daha yang kokoh lagi
termashur yang diperintah oleh Raja Jayabaya, seorang yang cerdik dan pandai,
lagi bijaksana, ada seorang ahli nujum yang bernama Empu Sedah, yang selalu
gundah karena sangat curiga terhadap pengaruh luar negeri yang makin lama
semakin besar. Dalam tulisannya disebutkan: "Sebuah revolusi di Pulau Jawa
akan timbul, dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan
buat beberapa lama". Dalam perkataan sindirannya tertulis "akan
memerintah seumur jagung". Tidakkah ramalan itu kemudian terbukti dengan
kemenangan seorang Tionghoa Jawa bernama Mas Garendi yang dalam waktu yang
singkat menggenggam kota Kartasura?
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa
Tionghoa makin lama bertambah besar. Sudah pada tempatnya bangsa Tionghoa itu
sedapat mungkin mempergunakan bangsawan Jawa sebagai alat untuk memenuhi
kepentingan ekonomi mereka!
Bila maksud ini tak berhasil dengan
pengaruhnya itu, adakalanya dengan jalan revolusi mereka mencoba-coba merebut
pemerintahan negeri. Tetapi, supaya mereka dapat tetap memperoleh kemenangan
mestilah mereka lebih kuat atau mendirikan satu kelas. Mereka haruslah menjadi
anak negeri atau bercampur darah dengan bumiputra. Barulah mereka dapat
menaklukkan raja dengan perantaraan kaum tani yang tidak senang itu. Karena
bangsa Tionghoa dalam hal sosial tetap tinggal dalam ke Tionghoaannya dan tak
memperoleh bantuan militer dari tanah air mereka, maka tak lamalah mereka
sanggup mempertahankan kemenangan atas raja-raja Jawa itu.
Rupanya Empu Sedah mengerti betapa kebencian
rakyat dan revolusi yang akan pecah. Sedang kekuatan nasional tak cukup kuat
menahan revolusi sosial tersebut. Itulah yang menimbulkan kegundahannya.
Di Kerajaan Majapahit berdiri beberapa
perusahaan batik, genteng dan kapal dengan kapital yang cukup besar. Dalam
beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum
buruh. Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal-kapalnya berlayar sampai ke
Persia dan Tiongkok. Boleh jadi sungguh besar modalnya, malah modal orang
asing. Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik,
Tuban, Lasem, Demak dan Cirebon agaknya adalah bangsa asing atau yang sudah
bercampur darah dengan orang-orang Jawa. Nahkoda Dampu-Awang, menurut ceritanya
yang berlebih-lebihan, mempunyai kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan
kekayaannya kerapkali dijadikan ibarat, rasanya seorang Tionghoa-Jawa. Satu
statistik di zaman itu tak ada pada kita! Tetapi banyak bangsa yang diam di
Pulau Jawa dapat dibuktikan dengan perkataan seorang pujangga Majapahit,
bernama Prapanca, "Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari
bermacammacam negeri. Dari Hindia-Muka, Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa,
Karnataka, Guda dan Siam dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli
agama, ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu dan suka
tinggal.” Sudah tentu, penduduk bandar-bandar yang makin lama makin maju itu
merasa memperoleh rintangan dari kaum bangsawan di ibukota. Sebagaimana terjadi
di negeri Eropa, penduduk bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak.
Dari pertentangan antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian,
penduduk dengan pemerintah, timbullah satu revolusi yang membawa Pulau Jawa ke
puncak ekonomi danpemerintahan.
Bila bandarnya mempunyai industri dan
perdagangan nasional yang kuat, niscaya Jawa akan mengalami satu revolusi
sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin satu revolusi sosial yang
dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional seperti
terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis terhadap feodalis. Tetapi Jawa
sesungguhnya dikungkung oleh ramalan Empu Sedah : "orang asing akan
memimpin". Seorang keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419,
dengan membawa agama yang belum dikenal orang di Pulau Jawa, datang
di Gresik yang ketika itu penduduknya
kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh
dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu, bumiputra
bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu sedang
berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.
Keadaan bertambah kusut, dan pada
akhirnya sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan terhadap raja-raja yang
dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah. Dengan perbuatannya,
Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada. Hal itu menunjukkan lagi bahwa
seorang asing, dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan
kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir itu, berhasil menjatuhkan kerajaan
bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak berdiri dengan kemashurannya! Tetapi
akhirnya terpecah belah oleh perang saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang
asing yang cerdik-jahat.
Jepang bermusuhan dengan Pajuang, Demak
dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan
bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan seorang
Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.
5. Tarunajaya
Sebagaimana di Kerajaan Roma dan
Tiongkok, gundukan pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di
ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah, darah Kerajaan
Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh Tarunajaya serta kawan-kawannya.
Seorang putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi)
rakyat Jawa mendapat pengikut yang besar, serta berhasil mengalahkan Raja
Mataram yang keluar dari garis kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan
Indonesia umumnya akan mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan
baru di Pulau Jawa. Ramalam Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti,
"Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau putih yang bermata seperti mata
kucing" (kebo bule siwer matane).
Dengan datangnya kekuasaan Belanda
lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan
percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain menyebabkan gencetan yang
sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik "ditelan" bangsa
itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah
dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban)
serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!
Tarunajaya tak dapat melawan kekuasaan
Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka kucing melihat keadaan ini dan
untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et impera,
memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja Mataram berjanji
kepada Kompeni Hindia Timur untuk memberikan kekuasaan dan tanah, mulailah
setan-setan itu bekerja.
Panembahan di Madura, seorang kawan dari
Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur dengan mas intan dan perkataan
yang manismanis hingga mereka dapat bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri
di antara "tiga api": Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang
menyebabkan kalahnya Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur
sendiri!
Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu
mendapat "kemenangan" atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni,
namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan menjadi kenyataan juga
seperti yang terbukti pada akhirnya.
6. Diponegoro
Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang
mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur
Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan
adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu
tidaksecara sukarela diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses
paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di bandarbandar didesak.
Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik.
Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan
perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah
Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju
kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan
perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.
Seorang anak jantan dengan kemauannya
yang keras seperti baja, berpengaruh laksana besi berani, yakni seorang
laki-laki yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat putera Indonesia sejati,
tak berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro dilahirkan di Barat
dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu,
boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi
ia "menolong perahu yang bocor", kelas yang akan lenyap.
Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan kesatriaan, dalam pandangan
ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat susah dipastikan, macam apakah
Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa
cita-citanya adalah "Singgasana Kerajaan Mataram". Satu kekuasaan
yang mudah berubah menjadi kelaliman. Diponegoro menunjang kesuburan modal
serta perluasan jalan. Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan
atau secara ekonomi,
kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca
bahwa ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional.
Pendeknya, ia tidak mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak
oleh kekuasaan baru dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan
kekuasaan Mataram yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu pun
diterjangnya.
Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi
nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan
Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi itu. Dengan begitu niscaya dapatlah
tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang
berbau keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda sama
sekali. Dalam kekecewaan yang hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah ia
mempersatukan diri di bawah pimpinan Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang
fanatik dan bersemboyan "Perang Sabilullah", bukan kebangsaan. Menarik
satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang
mudah. Karena hal ini sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa
menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam
(Mataram).
Akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang
pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah, baik teknik
maupunb ekonomis melawan satu kelas yang makin lama makin kuat. Satu kelas baru
mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern.
Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat
yang tersebut di atas?
Pertama,
bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa
perasaan sebagai kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yangpenghabisan,
bahwa setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah
artinya dengan menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah
Hindu yang sudah terkubur itu. Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga
sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari
perampokperampok asing.
Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak
ada kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka
itu. Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain
perbudakan. Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari
tindasan kaum imperialis.
III
BEBERAPA MACAM IMPERIALISME
1. Berbagai Cara Pemerasan
dan Penindasan
"Tuhan menciptakan
dunia menurut gambaran-Nya sendiri". Orang asing yang menjajah Asia selama
300 tahun adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing dan mereka
memerintah negerinegeri taklukannya dengan berbagai cara. Adapun secara
ekonomis, dari dulu sampai sekarang dapat dibagi sebagai berikut.
a. Perampokan
terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.
b. Monopoli, yang
dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di
Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.).
c. Setengah monopoli,
mulai dilakukan oleh Inggris di India.
d. Persaingan bebas,
mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.
Cara-cara imperialis lain
hampir dapat disamakan dengan cara yang tersebut di atas.
Adapun cara penindasan dalam
politik adalah seperti di bawah ini.
a. Imperialisme biadab,
yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan
pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina.
b. Imperialisme
autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a
seperti Belanda.
c. Imperialisme setengah
liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas
kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun
seperti Inggris di India).
d. Imperialisme liberal,
yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah
yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah
imperialisme Amerika di Filipina.
2. Sebab-Sebab Perbedaan
Perbedaan dalam cara
pemerasan dan penindasan terhadap si terjajah disebabkan bukan oleh perbedaan
tabiat manusia di negeri-negeri imperialis tersebut. Tetapi karena kedudukan
kapital dari masing-masing negeri waktu mereka sampai di Asia, dan juga cara
menjalankan kapital tersebut.
Waktu Spanyol dan Portugis
kira-kira tahun 1500 datang di Asia, mereka belum terlepas sama sekali dari
feodalisme. Portugis dan Spanyol adalah negeri pertanian, pekerjaan tangan,
kaum bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri). Barang-barang industri
yang dapat dijual di pasar-pasar tanah jajahan belum ada. Mereka datang ke
koloni-koloni untuk merampok hasil-hasil di sana lalu dijual dipasar Eropa
dengan harga tinggi. Karena mereka sangat keras memeluk agama Katholik yang
baru saja mengusir Islam dari Spanyol, maka bangsa Indonesia yang memeluk agama
animis di Filipina itu dipaksa menjadi orang Kristen. Siapa yang tidak suka
mengikut paksaan itu dipancung dengan pedang.
Waktu Belanda mengikuti Spanyol dan
Portugis sampai ke Indonesia kira-kira tahun 1600, sebagian besar dari
feodalisme Belanda telah didesak oleh borjuasinya. Mereka telah melepaskan diri
dari tindasan feodalisme serta Katholikisme dan mengambil jalan menuju
perdagangan merdeka, liberalisme dan Protestanisme. Negeri Belanda ada di dalam
zaman kapitalisme muda. Inggris yang pada tahun 1750 dapat berdiri tetap di
India, sebenarnya telah 100 tahun lamanya menyelami revolusi borjuasi di bawah
pimpinan Cromwell.
Setelah itu kapitalisme Inggris semakin
maju dengan sangat cepatnya, disertai dengan paham-paham perdagangan bebas,
liberalisme, konstituationalisme dan kepercayaan merdeka. Amerika sampai di
Filipina pada tahun 1898 setelah mengalami dua revolusi borjuasi (1775 dan
1860). Ia kokoh memegang paham Monroe, demokrasi dan politik pintu terbuka.
3. Akibat dari Berbagai Macam Cara
Pemerasan dan Penindasan
Sebagai buah dari cara perampokan itu,
maka Portugis dan Spanyol akhirnya dihalau dari tanah jajahannya (Siapakah yang
akan dihalaukan sekarang). Sekalipun semangat revolusioner di Indonesia sudah
matang dan menyala-nyala tetapi persediaan belum cukup, maka imperialisme
Belanda masih berdiri.
Dengan jalan memberikan konsesi-konsesi
yang besar, kalau terpaksa, serta politik kompromis kepada segolongan orang
India, maka imperialisme Inggris masih berdiri di sana. Dengan berkedok untuk
mengasuh, menolong dan mengasihi manusia serta memberikan otonomi-ekonomi,
politik ekonomi yang besar kepada bumiputra di Filipina maka, imperialisme
Amerika masih dapat membuat kekacauan di sana.
a. India
Meskipun Waren Hasting dan Lord Clive
membunuh dan merampok, perbuatan mereka tidak boleh disamakan dengan perbuatan
Daendels, van den Bosch serta lain-lain, sebab sistem kolonial Inggris dari
segi "material dan riwayat" jauh lebih mendingan daripada sistem
Belanda (tentu saja kita tak menghendaki imperialisme macam apa pun). Nafsu membunuh
dan merampok dari imperialisme Inggris tak dapat menghancurkan kemauan bangsa
India. Kemauan itu memperlihatkan dirinya terutama dengan barang-barang hasil
India yang belum dirampok oleh Inggris. Setelah mengalami beberapa perjuangan
politik dan ekonomi, dapatlah bangsa India mendirikan industri, pertanian
besar, dan perdagangan besar nasional. Selain itu, imperialisme Inggris
mengadakan sekolah dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi (lebih
dari lima universitas) dan semenjak beberapa lama telah mengadakan sistem
pemerintahan sampai kepada "dominion" atau lebih jauh lagi. India
telah mempunyai seorang Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr.
Naye yang termashur ke seluruh dunia. Sekalian kaum terpelajar ini dilahirkan dalam
pengakuan imperialisme Inggris.
Karena Inggris di negerinya sendiri
mempunyai bahan-bahan untuk industri (arang dan besi), dengan sendirinya ia
menjadi bengkel dunia. Sebab ia tak mempunyai kapas pada permulaannya,
dijadikanlah India sebagai kebun kapas. Selain itu, sebagai negeri industri
yang mempunyai penghasilan yang amat besar, Inggris membutuhkan pasar-pasar.
Karena itulah, tanah Inggris (negeri industri semata itu) terpaksa bekerja
bersama-sama dengan India, meskipun pada
permulaannya secara tak langsung. Bukankah firma-firma dan maskapai-maskapai,
baik impor atau ekspor dalam perdagangan yang sedemikian besarnya antara
Inggris dan India, membutuhkan kaum saudagar pertengahan bangsa India sebagai
perantaraan? Dan lagi bukankah tak selamanya "bayonet" dapat memaksa
suatu bangsa untuk membeli barang-barang? Mau tak mau ia mesti menaikkan taraf
hidup, jika ia ingin memperoleh pembelian yang tetap. Inilah yang memaksa
imperialisme Inggris memberikan pendidikan Barat kepada segolongan bangsa
India. Sekolah Tinggi pertama di Benggala yang sekarang sudah berusia 100
tahun, yang pada mulanya hanya boleh dimasuki oleh anak orang kaya dan
aristokrasi, kemudian dibenarkan juga buat anak orang biasa.
Dalam waktu yang singkat,
sekolah-sekolah tinggi itu pun menghasilkan sekian banyak kaum terpelajar,
hingga birokrasi Inggris tak dapat menerima mereka sama sekali. Timbullah di
sana kelas yang terdidik secara Barat dan yang merasa tak senang, yaitu kaum
buruh halus. Dari kelas inilah kemudian lahir beberapa orang pemimpin pergerakan
kemerdekaan yang terkenal sebagai ekstrimis, yakni kaum kiri. Demikianlah,
imperialisme Inggris melahirkan musuhnya serta menggali kuburnya sendiri.
Dengan pimpinan Tilak yang termashur
itu, timbullah aksi boikot pada tahun 1900-1905. Maksudnya supaya industri dan
perdagangan nasional hidup, yaitu dengan jalan memboikot barang-barang pabrik
Inggris yang diimpor ke India (kapas ditanam di India, sesudah itu dikirimkan
ke negeri Inggris, dengan harga yang berlipat ganda dijual pula kepada pembeli
bangsa India). Dengan mempergunakan barang-barang yang belum dirampok
"sebagai senjata", kaum terpelajar memperoleh kemenangan. Tuan tanah
yang besar-besar dan saudagar-saudagar memberikan pertolongan berupa kapital,
semangat dan alat untuk memenuhi program kaum ekstrimis. Meskipun penuh dengan
rintangan-rintangan politik, ekonomi, keuangan dan alat yang luar biasa dapat
jugalah Tilak dan kawan-kawannya meraih kemenangan. Berbagai industri, termasuk
industri tenun — industri nasional waktu sekarang — adalah buah tangan yang
terpenting dari Tilak dan kawan-kawannya. Pun industri itu sudah mempunyai
lapangan internasional. Sebagian besar kemenangan itu juga tergantung pada pertolongan
buruh dan tani bangsa India.
Berdiri di atas kemenangan Tilak,
dapatlah Mr. Gandhi meraih kemenangan dalam pergerakan noncooperation atau
gerakan boikot. Hampir semua pabrik tenun di Bombay (lebih kurang 200
jumlahnya) sekarang dimiliki dan dikelola oleh otak dan tenaga India. Kapas
Inggris terpukul dalam persaingan yang hebat, bukan saja di India tetapi juga
di Afrika, Melayu, Tiongkok dan lama-kelamaan juga di Eropa.
Undang-undang perdagangan India
belakangan ini melindungi kapas keluaran India. Tidak sedikit kebun-kebun firma
dan bank sekarang bekerja dengan kapital India dan dipimpin oleh bangsa India.
Industri-industri seperti arang dan besi; serta industri logam yang modern
sekarang dipegang oleh bangsa India. Jika waktu perang dunia Inggris membeli
gerobak kereta api dari "Tata Coy", sekarang (semenjak lebih kurang 2
tahun) ia membuat perjanjian akan membeli juga mesin-mesin kereta api.
Pendeknya, tanpa kekerasan imperialisme Inggris, kapital nasional India berdiri
— yang berakibat perjuangan yang tak mau kalah, yang kadang-kadang menimbulkan
pertumpahan darah. India sekarang ada di zaman industri besar yang modern.
Negeri Inggris bukan lagi jadi pusat bengkel di dunia meskipun di dalam
kerajaannya sendiri; dan India bukan lagi kebun kapas bagi Britania.
Setelah Inggris takluk dalam percaturan
ekonomi, terpaksalah ia mengakui kemenangan India dalam politik. Di sana
sekarang berdiri industry nasional yang kepentingan materialnya dalam beberapa
hal bersamaan dengan kepentingan penjajah. Tinggal lagi bagi Inggris memberikan
konsesi-konsesi politik kepada wakil-wakil tuan tanah yang besar dan borjuasi
modern. Memang inilah artinya kerja islah pemerintahan negeri yang telah
bertahun-tahun dilakukan Montageu Chelms
fordsplan. Daerah besarbesar yang berpenduduk 50,000,000 seperti Benggala dan
Daerah Tengah setelah diadakan islah (hervorming) dengan perantara
majelis-majelis
daerah, hampir jatuh ke tangan bangsa
India sepenuhnya. Pemilihan dewan yang tertinggi (Duma bangsa India),
dipengaruhi oleh kaum Swaray, militer, perguruan, dan pengadilan, dalam
beberapa tahun ini disediakan - ditempati oleh putera-putera India yang cakap
dan setia.
Meskipun demikian, belumlah ada satu
perwakilan rakyat (parlemen) dan kabinet yang bertanggung jawab. Sungguhpun
islah pemerintahan India jauh lebih sempuma dari Dewan Rakyat ala Belanda,
tetapi belum sampai seperti Dominion Canada, konstitusi Filipina atau Mesir.
Tetapi sejumlah pemimpin dan kaum ekstremis dapat ditarik hatinya oleh islah
itu. Karena itu pergerakan kaum revolusioner untuk sementara waktu
"terkandas" hingga imperialisme Inggris memperoleh kesempatan untuk
menarik napas.
b. Filipina
Keadaan di Filipina berlainan sedikit
dengan di India. Bangsa Amerika datang, pada tahun 1898, waktu bangsa Filipina
telah "tiga perempat berhasil" melemparkan kekuasaan Spanyol. Awalnya
Amerika berlaku sebagai kawan, tetapi setelah kokoh pendiriannya dia tinggal
terus dalam negeri itu. Perang Filipina -Amerika yang 33 tahun lamanya
(1898-1901) tak berhasil menghalau pencuri itu. Sebelum kedatangan Amerika,
bangsa Filipina sudah dapat menunjukkan beberapa nasionalis besar seperti Dr.
Rizal (yang ditembak orang Spanyol dari belakang); seorang organisator,
Bonifacio, seorang diplomat Mahbini dan panglima perang Luna serta Aquinaldo.
Karena itu perlulah dipakai suatu tipu
daya yang sangat fisik untuk mengelabui mata sebuah bangsa yang gagah lagi
cerdik, seperti rakyat Filipina itu.
Disebabkan oleh kebesaran dan kekayaan Amerika dan oleh salah satu paham
anti-imperialisme di antara bangsa Amerika yang berpengaruh, dengan segera kaum
imperialis mengerjakan islah. Politik dalam negeri, dengan perantara
"Senat" dan "House of Representative", sekarang boleh dikatakan ada di dalam tangan
bumiputra. Semua wakil dari kedua dewan itu — kecuali dari beberapa daerah
Islam — dipilih dengan hak memilih yang sepenuh-penuhnya dan semuanya adalah
orang Filipina. Sebagian besar gubernur dari daerah-daerah adalah juga orang
Filipina. Hanya beberapa kepala departemen saja orang Amerika. Di dalam satu
konstitusi, Amerika mesti berjanji akan memberikan "kemerdekaan" yang
seluas-luasnya "kepada bangsa Filipina setelah mereka dapat menunjukkan
kecakapan mendirikan pemerintahan yang tetap". Sekolah rendah diperhatikan
dengan sungguh-sungguh dan mementingkan pertanian.
Perusahaan yang menjadi pokok dari
ekonomi Filipina sekarang dipegang oleh bumiputra sepenuhnya. Beberapa pabrik,
rumah-rumah perdagangan dan maskapai-maskapai kapal adalah kepunyaan atau
dipimpin oleh orang Filipina. Empat buah Universitas dan beberapa sekolah
tinggi setiap tahun meluluskan putera dan puteri Filipina dalam jumlah besar
untuk mempertahankan bangsa yang 12,000,000 jiwa itu dari tipu daya dan
kecurangan Amerika. Hanya sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh
dikatakan semua anak-anak masuk sekolah. Hingga sampai ke sudut-sudut yang
jauh, selain dari bahasa sendiri, pemuda-pemudanya mengerti bahasa Inggris.
Biarpun perguruan di sana tak
menyenangkan hati seorang Belanda yang terpelajar seperti Dr. Nieuwenshuis -
yang tentu sekali akan selamanya menjilat-jilat kudis pemerintahannya sendiri,
sambil menghinakan perbuatan orang lain, tetapi karena ketinggian intelek
Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan kaya-kaya itu tak dapat berbuat
sesuka hatinya sendiri. Sebab Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga
karet f 540,000,000 lebih banyak daripada tahun 1924 kepada Inggris, timbullah
pikiran orang Amerika untuk membuka kebun di Filipina Selatan yang tanahnya
bagus buat karet.
Tetapi pemimpin-pemimpin Filipina
bekerja keras untuk menghindari terkaman "serigala-karet" bangsa
Amerika. Sebelum mereka bertindak lebih jauh buat memperoleh tanah yang luas
untuk kebun karet, dalam konsesi — berkat usaha pemimpin-pemimpin Filipina,
anggota Senat dan House dengan hukum tanah (landwet) nya yang
lama ditentukan bahwa "tidak lebih dari 2500 acres (satu acre 4840
yard persegi) yang boleh disewakan kepada orang asing. Belum berapa lama
berselang serigala karet itu, dengan perantaraan Firestone datang meminta
konsesi
untuk kebun karet itu. Mereka disambut
dengan perkataan bahwa hukum tanah Filipina "tidak memberi izin".
Pemimpin-pemimpin Filipina berpendapat bahwa apabila Amerika menanam kapitalnya
di Filipina, selain rakyat segera akan menjadi sengsara (seperti di Jawa) juga
Amerika akan mendapat satu alasan untuk merintangi kemerdekaan Filipina.
Imperialisme Amerika yang tidak kurang cerdiknya dari imperialisme Anglosakson
bukankah kelak dapat mengatakan, bahwa satu kegoncangan boleh jadi akan muncul
karena kepergian Amerika yang belum pada waktunya? Kepentingan-kepentingan
Amerika membahayakan di Filipina. Inilah sebabnya maka pemimpin-pemimpin
Filipina dengan tergesa-gesa mengeluarkan hukum tanah tersebut dari kitab
undang-undang dan membeberkannya kepada seluruh rakyat... Layaknya sebuah
kampung kedatangan seekor macan. Sebuah bangsa yang sudah terbuka matanya
seperti Filipina, tambahan pula diberi wawasan oleh surat-surat kabar bumiputra
(disebabkan sekolah tinggi yang dikutuki Dr. Nieuwenshuis yang terpelajar
itu!), dapat melihat dan melaksanakan kebenaran dari pemimpin-pemimpinnya.
Dengan diiringi oleh seluruh rakyat,
dapatlah pemimpin-pemimpin Filipina setiap waktu memanah serigala karet
imperialisme Amerika dengan panah hukum tanah yang liat itu. Tidak seorang pun
yang mencela sistem perguruan yang tidak nasional itu selain dari
pemimpin-pemimpin Filipina sendiri. Selain itu pun ada kesulitan-kesulitan
untuk mengambil peran perdagangan dari bangsa asing. Tetapi semuanya mereka
sekata (semufakat) bahwa sistem perguruan yang sehat dan perubahan ekonomi yang
sebaik-baiknya hanya dapat dilakukan dengan sempurna setelah tercapai
kemerdekaan bangsa. Dan di sudut dunia manakah hal itu dipandang secara
berlainan? Adanya Gubernur Jendral yang mempunyai hak mencegah (recht van
veto) menjadi rintangan bagi islah ekonomi yang semata-mata bagi bangsa
Filipina. Itulah sebabnya, saudara-saudara kita di sebelah utara sana masih
terus berjuang semata-mata untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya. Konsesi yang
besar-besar, yang dengan terpaksa diberikan oleh Amerika mulai 25 tahun yang
silam tak dapat mendinginkan sanubari bangsa Filipina untuk merampas hak
kelahiran dan kemerdekaannya. Seandainya yang dipertuan bangsa Filipina bukan
Amerika (satu negeri yang terkuat dan terkaya di atas dunia), tetapi
"perampok di tepi Laut Utara (Belanda) yang termashur itu", niscaya
telah lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk ke dalam neraka.
Inggris menguasai karet lebih dari dua
pertiga dan Amerika memakai 72 % dari hasil dunia. Disebabkan masih berlakunya
"Stevenson Rubber Restriction's policy", tuan-tuan kebun dan
mereka yang mempunyai monopoli, bangsa Inggris sajalah yang menguasai karet
sedunia ini — verslag kamer van koophandel Amerika yang diumumkan dalam Manila
Tribune, 26 Juli '25.
c. Indonesia
Keadaan India dan Filipina yang saya
kemukakan di atas, saya maksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang
imperialisme. Perihal Indonesia, sekarang dan nanti, akan kita uraikan di
belakang dengan panjang lebar. Setelah memperhatikan semua yang diuraikan di
atas, niscaya tak sudah bagi pembaca untuk mengartikan perampokan, pembakaran,
dan pembunuhan yang dilakukan orang Belanda. Karena itu, kita tidak akan
berlama-lama menggambarkan hongi-hongi (merica di Ambon), kebun kopi yang
sekarang dipanggil penanam merdeka. Semuanya telah terkenal dan dikutuki oleh
setiap manusia yang berotak. Jauh dari maksud kita mengatakan bahwa sekalian
kejadian itu adalah semata-mata perbuatan "manusia" Belanda. Kita
sendiri telah cukup mengenal pekerti dan tabiat bangsa Belanda. Tetapi lagak
dan lagu imperialisme Belanda menjadikan seorang bangsa Belanda seperti yang
kita kenal dulu dan sekarang — jahat dan bengis. Tatkala Belanda mengarahkan
kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani
dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.
Juga sekarang negeri itu masih tetap
tinggal sebagai negeri tani dan saudagar. Dan ia tidak akan menjadi lain,
karena ia tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi dan
kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah jajahan niscaya ia tak
dapat menyamai Belgia atau Swedia. Setinggi-tingginya ia hanya satu negeri tani
dan saudagar-saudagar kecil yang sunyi seperti Denmark. Dengan keberanian dan
kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang
kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir batu
pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan. Bagaimana mungkin kita
harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Hoe
kan men okk vooruitziensheid en staatsmanschap van een piraat - kruidenier
verwachten!).
Sebelum datang Kompeni Hindia-Timur,
orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi orang Jawa atau
setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda datang ke
Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh berisi. Di sana
dihambur-hamburkan uang Indonesia dan di sanalah mereka menyedot dana
pensiunnya dari peti uang Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi
Indonesia! Sekiranya negeri Belanda adalah sebuah negeri industri yang maju
niscaya lambat laun terpaksalah ia seperti Inggris dan Amerika, memakai politik
yang lain. Ia tentu akan memakai politik liberal terhadap orang Jawa atau
Indo-Jawa serta bangsawan Jawa. Dengan demikian, kemajuan politik dan ekonomi
sebagai sekarang terjadi di Filipina dan India, boleh juga terjadi di
Indonesia. Biarpun Belanda semenjak 20 tahun belakangan ini mulai
mengindustrialisasi Indonesia, tetapi tujuannya tetap monopoli. Kapitalnya
tetap kapital luar negeri. Jurang antara penjajah dan si terjajah sekarang
masih tetap sebagai di zaman Daendels dan van den Bosch. Hanya suara revolusi
yang gemuruh sajalah yang dapat menimbun jurang yang dalam itu. Tetapi agaknya
oleh karena hal inilah maka Indonesia dan negeri-negeri Asia yang lain kelak
memberi selamat kepada imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab dari
pertentangan sosial yang tajam di Indonesia itu, satu masa niscaya akan timbul
kodrat baru yang dapat melepaskan Indonesia dan seluruh Asia dari tindakan
Barat untuk selama-lamanya.
IV
KAPITALISME INDONESIA
Kapitalisme di Indonesia adalah
cangkokan dari Eropa yang dalam beberapa hal tak sama dengan kapitalisme yang
tumbuh dan dibesarkan dalam negerinya sendiri, yakni Eropa dan Amerika Utara.
1. Kapitalisme yang Masih
Muda
Karena kapitalisme di
Indonesia masih muda, produksi dan pemusatannya belumlah mencapai tingkat yang
semestinya. Kira-kira seperempat abad belakangan baru dimulai industrialisasi
di Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan mesin yang modern dalam
perusahaanperusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan timah. Industri
Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap terbatas di Jawa dan di
beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas, yang biasanya sangat subur dan
mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera,
Borneo, Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu tangan
manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan alat-alat angkutan sudah
mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali
Sumatera, masih rimba raya.
Industri modern yang sebenarnya
tidak akan diadakan di Pulau Jawa. Ia akan tetap tinggal menjadi tempat
industri pertanian. Sebab logamlogam seperti besi, arang, minyak tanah, emas
dan lainnya, tidak atau hanya sedikit sekali didapat di sana. Sumateralah yang
menjadi tempat industri modern yang sebenarnya. Hal ini sekarang sebagian kecil
telah terbukti. Arang, minyak tanah, emas dan timah hasil Sumatera (kelak juga
besi) besar artinya, baik di kalangan nasional maupun internasional. Inggris,
negeri industri yang tertua di dunia, pada pertengahan abad yang lalu
mengadakan perubahan yang tepat dalam perindustriannya.
Negeri-negeri Eropa yang
lain dan Amerika Utara mengikuti pula berangsur-angsur. Teknik dan peraturan
bekerja di sana sekarang telah sampai pada tingkat yang setinggi-tingginya
seperti yang belum pernah dikenal oleh riwayat dunia. Tenaga produksi dan
distribusi jauh melewati batas keperluan nasional. Eropa dan Amerika Utara
telah menjadi negeri kapitalis yang matang. Kapital memisahkan kota dengan
desa. Kota menghasilkan produksi industri dan produksi pertanian. Makin maju
kapitalisme, semakin banyak penduduk yang tadinya di desa-desa ditarik ke
kota-kota. Bukankah di kota sewaktu keadaan politik dan ekonomi baik, kita
peroleh lebih
banyak pekerjaan, lebih
banyak rumah-rumah pendidikan dan lebih banyak kesenangan daripada di
desa-desa? Pada tahun 1790 di kota-kota berdiam 3.4% dan di desa-desa 96.6%
penduduk dari seluruh penduduk, dan pada tahun 1920 menjadi 51 % dan 49%. Di
tahun 1870 angkaangka itu jadi 21% dan 79% dan di tahun 1910 jadi 51 % dan 49%.
Jadi, jumlah penduduk di desa-desa pada tahun 1920 lebih kecil dari penduduk
kota. Angka-angka ini membuktikan secara nyata pada kita perihal kemajuan
kota-kota Amerika, sebagai akibat dari kemajuan industrialisasi. Di negeri
Inggris proses pembagian itu (perihal kota dan desa) sama teratur dan sama
cukupnya. Pada tahun 1850 di kota-kota berdiam 49% penduduk dari seluruh
penduduk. Pada tahun 1900 perbandingan ini menjadi 77% dan 23%, (The relation
Governement to industry, M.L. Regua).
Menurut foods No. 73 tahun
ini, jumlah penduduk dan kota-kota yang mempunyai lebih 10,000 jiwa di Jawa dan
Madura baru 60% dari seluruh penduduk.
Jika kita pakai perbandingan
antara penduduk kota dan desa sebagai ukuran kemajuan industri satu-satu
negeri, niscaya industri Indonesia masih di dalam keadaan bayi Jika
kita ambil pula jumlah panjangnya jalan kereta api untuk menggambarkan kemajuan
industri selaku penjelasan uraian kita yang di atas, nyatalah
kepada kita bahwa negeri Jerman, dengan 177,000 mil persegi luasnya dan
penduduknya yang lebih sedikit dari Indonesia, pada tahun 1913 mempunyai 38,809 mil jalan kereta api, sedang
Indonesia yang luasnya 735,000 mil persegi, pada tahun 1919 hanya ada mempunyai
3,914 mil.
Perihal jumlah perdagangan (impor-ekspor)
di Indonesia 1924 (sesudah perang dunia) ada f 2,208,800 (menurut International
Ocean, no. 526, Negeri Jerman pada tahun 1913 [sebelum perang] ada f
13,375,000.000). Angka-angka ini menunjukkan kemunduran kita. Tetapi jika
dibandingkan dengan negeri seperti Inggris, India, dan Filipina, kelihatannya
Indonesia belum berapa mundur. Dan bila dibandingkan dengan Turki, Siam, dan
Tiongkok, Indonesia jauh lebih baik. Dengan membuat perbandingan itu
sebagaimana yang sudah kita lakukan, sebetulnya ini telah melebihi dari
kemestian. Maksud kita tak lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya
kapitalisme di Indonesia.
2. Tumbuh Tidak dengan Semestinya
Kapitalisme di Indonesia tidak
dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia
adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan
kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra. Bila kita perhatikan perkembangan
kapitalisme di Eropa dan Amerika, nyatalah pada kita bahwa cara produksi yang
tua berturut-turut digantikan oleh yang muda. Biasanya kejadian itu tidak
tampak jelas, tetapi adakalanya cepat sehingga cukup jelas. Kejadian yang
belakangan ini ialah oleh adanya pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun
keadaan saat itu, ia adalah kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang
mendorongkan pada kemajuan itu ada di
dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri. Sebagaimana yang telah
kita tunjukkan, kemajuan industri di setiap negeri sejajar dengan timbulnya
kota-kota yang mengeluarkan terutama barang-barang industri seperti
barang-barang besi, perkakas pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa
mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang ternak, susu dan lain-lain.
Barang-barang kota yang berlebih — yakni barang itu dipandang penduduk kota
sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih
itu.
Di Amerika pada waktu yang biasa seperti
pada tahun 1913, selagi negeri ini terpencil dan kurang imperialistis, seperti
sekarang ini, boleh dikatakan sama besarnya perbandingan antara barang-barang
industri dengan pertanian (harga pasar antara kedua barang itu hampir sama).
Jadi dalam pemandangan ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi
keperluan kota. Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur
sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas keadaannya.
Kota-kota kita tak dapat dianggap
sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan
barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri, dari
kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga,
bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi
didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis.
Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk
mereka sendiri pun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan rakyat yang terutama
mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921 seharga f 114,160,000, meskipun
bangsa kita umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk
menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan
berasnya yang berlebih. Desadesa kita mengeluarkan gula, karet, teh, dan
lain-lain barang perdagangan yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan
dan memelaratkan kaum tarsi; kota-kota kita bukanlah menjadi pusat ekonomi
bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan
keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri. Bahan yang menyebabkan
kapitalisme bukanlah Indonesia — mengingat riwayat negeri kita yang tersebut di
atas — teranglah bagi kita.
Sudah kita lihat bahwa politik perampok
bangsa Belanda, memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang
modern. Hongi-hongi cultuur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang
tak ada ampunnya. Dan pemasukan saudagar-saudagar Tionghoa yang teratur di
zaman Kompeni Timur Jauh (VOC) menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial
ekonomi dan teknik nasional yang kuat.
Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak
dirampok, dan mempunyai kepandaian teknik, serta dipengaruhi oleh orang asing,
tentulah orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam.
Boleh jadi dengan secara damai (seperti
di Jepang) atau dengan perantara pemboikotan nasional (seperti di India) kaum
menengah Indonesia atau Indo dengan jalan mengumpulkan kapital nasional
mendirikan industri untuk memenuhi kebutuhan nasional seperti tenun besi.
Demikianlah, kapital Indonesia timbul dengan teratur pula antara
lapisan-lapisan sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar
Indonesia yang dulu kecil sekarang sudah menjadi bankir atau mengepalai
perusahaan yang besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik
yang dulu kecil menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi
imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa
Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme
kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia. Maju ke dalam perjuangaan
ekonomi melawan raksasa asing, dengan maksud meningkatkan industri nasional
sama dengan "menjaring angin".
3. Kapital Indonesia Itu Internasional
Imperialisme Inggris dengan industri
nasionalnya yang nomor wahid dan armada yang luar biasa, semenjak semula merasa
perlu mengadakan kompromi dengan raja-raja, dan tuan-tuan tanah bangsa India,
untuk mempertahankan diri terhadap borjuasi bumiputra yang baru timbul. Tetapi
tatkala yang tersebut belakangan ini keluar dari medan perjuangan dengan
kemenangan (di tahun 1900-1905 dan 1919-1922), Inggris mengulurkan tangannya.
Bersama dengan raja-raja, tuan-tuan tanah dan borjuasi India yang baru itu, dia
pergi memperkuda punggung rakyat yang menggerutu itu. Bagaimanapun sulitnya
imperialisme Inggris, ia masih mempunyai tujuan di dalam kerajaan sendiri.
Imperialisme Belanda memukul dan
menendang "kerbau" yang sabar itu, sekian lamanya, hingga sekarang
kerbau itu mempergunakan tanduknya. Belanda kecil yang di waktu dulu menelan
segalanya untuk dirinya sendiri, sekarang terpaksa membagi-bagikan itu dengan
negeri-negeri yang lebih kuat. Adapun kekurangan kapital dan industri, adalah
sebab yang terpenting dari tindakan Belanda itu, maka semenjak beberapa tahun,
capital Inggris memegang peranan besar di Indonesia. Raffles yang bijaksana itu
sudah lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum ia dapat mengelabui
mata Belanda-tani itu. Setelah perang
dengan Napoleon berhenti, Inggris mengembalikan sekalian koloni Belanda.
Perbuatan ini seakan-akan sangat bertentangan dengan politik yang waktu itu
dipakai Inggris, tetapi setelah dicermati perbuatan itu adalah politik Inggris
yang selicinlicinnya dan semurah-murahnya dalam memakai Belanda sebagai opas
untuk kapital yang ditanamnya di Indonesia. Apakah pengambilalihan seluruh
administrasi yang ada di Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada
Inggris? Kapital Inggris yang beberapa tahun
belakangan ini makin hari makin besar,
bagi Belanda — kecil sangat mengkhawatirkan, dan bangsa Indonesia sekarang tak
sabar lagi, hingga Belanda sekarang berniat memakai "politik pintu
terbuka". Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika ini sungguh
cocok dengan politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi:
"Dan terhadap kapital Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga
dari
tidurnya, semestinya Belanda lebih kuat
bila mempunyai Amerika yang demokratis. Tetapi negeri ini mesti ditarik ke
Indonesia. Kapitalnya
ditanam di Indonesia dengan segala daya
upaya dan, jika perlu, diberikan hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya,
kelak Amerika bergandeng tangan dengan Belanda". Uang dan susah payah tak
diperhitungkan demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah berkata terus
terang di dalam kamer, bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah
karena undang-undang di Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun
1923, dan kedatangan beberapa kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang
konsul jendral di New York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan
dan perjanjian juga menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah
yang selama bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the
Wonderland). Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan
kapitalis Amerika supaya datang berduyun-duyun ke Indonesia.
Berapa besar kapital Belanda itu dapat
kita lihat pada angka-angka di bawah ini. Dalam buku Handbook voor cultuur
en handsondernemingen in Ned. India ditulis oleh Agulvant, kapital yang
ditanam di Indonesia ditaksir sejumlah f 3.270.000.000. Di antaranya f
1.27,000,000 di dalam kebun-kebun, minyak f 900,000,000. Dalam bank dan perdagangan
f 750,000,000. Perusahaan kapal, kereta api dan tram masing-masingnya f
250.000.000, f 220.000.000 dan f 200,000,000. Tambang-tambang f 70,000,000 dan
maskapai-maskapai asuransi f 60,000,000. Kapital yang ditanam di Sumatera Timur
pada tahun 1924 sejumlah f 439,000,000. Di antaranya 55.3% kepunyaan Belanda
dan 44.7% kepunyaan bangsa asing. Kapital bangsa asing yang ditanam dalam
industri pertanian sejumlah f 200,000,000. Di antaranya f 147,500,000
adalah kapital Inggris, f 300,000,000
milik Prancis dan Belgia, f 15.700.000 milik Jepang dan f 4.000.000 milik
Jerman (International Ocean. No. 6, 1926). Luas kebun karet pada tahun
1924 sebesar 241,357 bau [note 1]. Di antaranya 42.2% kepunyaan bangsa asing
dan 32.4% kepunyaan Inggris.
Berhubung dengan monopoli Inggris,
kapital karet Amerika beberapa tahun belakangan ini sangat cepat meningkatnya
di Sumatera. Luas kebun teh di Jawa 116,664 bau. Kepunyaan bangsa asing 23.8%
dan Inggris 17.8%. Dari tujuh macam hasil utama yang dikirimkan ke pasar-pasar
di seluruh dunia, ekspor gula di tahun 1924, f 491,100,000 atau 32.1 % dari jumlah
ekspor. Karet f 202,600,000, atau 13.2% dari ekspor. Minyak tanah f
158,300,000, tembakau f 123,600,000, kopra f 97,400,000, teh f 93,600,000 dan
kopi f 56,600,000 yakni masing-masing 10.3%; 8.1%; 6.4%; 6.1%; dan 4.3% dari
jumlah ekspor semuanya.
Pada tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris
dan di jajahannya 42.55% dari semua ekspor dan ke negeri Belanda hanya 19.7%,
sedang 40.4% dari Inggris dan tanah jajahannya.
Jadi teranglah, bahwa perdagangan
Inggris di Indonesia lebih besar dari semua negeri asing, sedangkan di dalam
perusahaan minyak dan kebun-kebun yang terpenting, kapital Inggris memegang
peranan yang terbesar di antara kapital bukan Belanda. Jadi tidaklah
mengherankan mengapa orang Belanda tergesa-gesa memikat kapital Amerika. Betul
beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati melihat Inggris menjalankan
politik karet dengan cara monopoli, Amerika mulai menanam kapitalnya di kebun
karet di Sumatera Timur. Akan tetapi, hal itu belum menjadi satu kepastian,
apakah Amerika hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera dan Jawa saja, sebab di
Mindanau (Filipina Selatan) dan Liberia ada tanah yang subur untuk kebun karet.
Mengakui dan melindungi industri bumiputra yang modern seperti di India menurut
pandangan ekonomi baru tidak akan ada sama sekali, sebab industri bumiputra
modern memang tidak ada. Rakyat hanya diperas, diinjak-injak dan ditipu.
Pemecatan kaum buruh bukanlah satu keanehan, dan cengkraman pajak makin lama
makin erat. Ekonomi rakyat tak perlu disebut-sebut sebab negeri Belanda
terutama bergantung pada kapital luar negeri. [note 1] 1 bau = 500 tombak
persegi atau 7096 m2.
V
KEADAAN RAKYAT INDONESIA
1. Kemelaratan
Berapa ribu, bahkan berapa
ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut kosong di atas
balai-balai setiap hari saat melepas lelahnya, tak terjelaskan dengan tepat.
Pemerintah punya catatan angka-angka yang lengkap tentang kebun-kebun dan
perusahaan yang menguntungkan, terutama nama-nama orang yang wajib membayar
pajak, tetapi lupa memberi kepastian tentang penghidupan rakyat seluruhnya.
Betul kadang-kadang dibentuk oleh pemerintah suatu panitia, tapi badan itu tak
mewakili rakyat, dan tentu saja panitia itu tidak pernah mendakwa kapital besar,
meskipun mencela saja. Pemeriksaan "teratur" dan "merdeka"
sebagai bukti maksud-maksud yang suci, belum pernah kedengaran.
Jika kita mau tahu berapa
jumlah buruh industri, kebun-kebun dan pengangkutan, tentulah dengan jalan itu
kita ketahui berapa banyaknya "budak belian kolonial" yang kelaparan
di Indonesia sebab sebagian besar dari buruh industri itu miskin, sebab kepada
perusahaan besar-besar itu, mereka harus menjual atau menyewakan tanahnya,
hingga akhirnya kehilangan tanah dan mata pencaharian.
Hal itu tidak mungkin
disebabkan oleh ketakpedulian dan kelalaian pemerintah. Meskipun kita bekerja
dengan angka-angka yang tak cukup, ini belum berarti bahwa keadaan rakyat
Indonesia adalah buku yang tertutup bagi kita; bahkan sebaliknya tak dapat
diduga bahwa dua sampai tiga juta budak yang tertindas menerima upah yang hanya
cukup bertahan agar mati kelaparan. Bagian yang terbesar dari mereka
berorganisasi. Mereka itu misalnya buruh kereta api, tukang sapu, kuli barang
dan tukang rem, yang mulai bekerja dengan gaji f 15 — dengan satu sampai dua
rupiah kenaikan setiap tahun — dan mencapai maksimum f 30 sampai f 40 sebulan
apabila mereka sudah beruban. Sungguh gaji itu terlalu sedikit di zaman
kapitalisme, dan hal ini sangat menyedihkan, mengingat kepada kecermatan dan
tanggung jawab sekumpulan buruh itu bergantung hidup beribu-ribu manusia. Jika
beratus ribu buruh gula yang karena tak berorganisasi tidak berani meminta
tambah gajinya; Jika kaum tani yang kehilangan tanah hanya bekerja beberapa
bulan dalam setahun dengan gaji 30 atau 40 sen sehari, yakni di waktu memotong
tebu; jika 250 sampai 300 ribu kuli kontrak — yang dinamakan "kuli
merdeka" di Sumatera Timur — mendapat upah 30 sampai 40 sen sehari,
siapakah yang berani mengatakan bahwa di masa ini seseorang (meskipun ia
seorang inlander!), dengan anak bininya, dapat hidup sebagai manusia dengan
upah 12 sampai dengan 25 rupiah sebulan? Jika ada orang yang berkata seperti
itu, ia adalah seekor keledai atau lebih hina lagi adalah seorang
"pengkhianat".
Tukang-tukang besi
segolongan buruh yang besar gajinya di negeri-negeri lain, di Surabaya sangat
rendah gajinya, tinggal seperti di kandang anjing, makanan, pakaian dan
keperluan hidup lain-lain tak cukup, hingga kekallah mereka jadi mangsa lintah
darat Tionghoa dan Arab. Kita masih mendengar gaji mereka antara 30 sampai 40
rupiah. Di Surabaya yang dikenal sebagai kota dagang, gaji itu berarti sekadar
penghalang agar jangan sampai mati.
Siapakah nama gubernur
jendral yang pada suatu hari dengan malu-malu menceritakan bahwa beribu-ribu
kuli di pelabuhan Jakarta, sebab upah mereka tidak cukup untuk menyewa gubuk
yang sangat dicintai oleh orang-orang Jawa? Sudah begitu memalukan dan tak
menentunya nasib kaum buruh yang nota bene masih kerja itu, bagaimanakah halnya
kaum penganggur yang makin lama makin banyak itu? Dalam Verslag van de
Suiker Enquete Commissie (hlm. 99) kita baca kalimat yang sangat berarti:
"Agaknya setengah dari keluarga rakyat di Pulau Jawa termasuk orang yang
mempunyai tanah, dan selebihnya hidup dari perusahaan dan perdagangan bumiputra
ataupun bukan. Di sana tentulah beratus ribu manusia yang tak punya apa-apa,
yang kadang-kadang bekerja pada salah seorang peladang dan dengan tidak pada
tempatnya menamakan dirinya
petani". Selain itu, di kota-kota tidak sedikit orang yang bergelandangan
di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan sesuap kala petang. Kita tidak
mempunyai statistik yang lengkap, benar dan sah tentang berapa jumlahnya.
Tetapi siapapun yang pernah tinggal di kota gula seperti Banyumas, Solo, Kediri
dan Surabaya, serta ia sungguh memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan
tercengang dengan "kesabaran" dan "kebetahan" rakyat
menanggung kesusahannya, bahwa pajak jauh melewati kesanggupan penduduk, tidak
asing lagi bagi orang-orang pemerintah.
Semua dan setiap yang bernyawa (meskipun
dia tidak berpencaharian) mesti membayar pajak. Kutipan-kutipan dari segala
pihak dapat kita cantumkan, tetapi, karena kita anggap tidak berfaedah, tak
perlu kita tambahkan di sini. (Sepintas lalu kita katakan bahwa industri
besar-besar dan kongsi-kongsi perdagangan juga membayar pajak. Akan tetapi, hal
itu adalah perkara perjanjian belaka, karena dengan berbagai cara, pajak itu
dapat ditimpakan di atas kepala rakyat Indonesia yang melarat dan tak punya hak
lagi itu). Padoux, penasihat pemerintah Tiongkok dalam "Memorandum for the
National Commission for Study of Financial Problem", menentukan bahwa
setiap kepala di Filipina, Indo-Cina, Prancis, Siam, Indonesia, dan Tiongkok
masing-masing membayar pajak $7.50, 8.50, 9.50, 15.50, dan 1,20.
Jadi, pajak yang tertinggi di Indonesia!
yaitu dua kali Filipina, hampir dua kali Indo-Cina, Prancis, dan dua belas kali
Tiongkok. Perhitungan itu diambil menurut perbandingan sebelum tahun 1923.
Waktu itu masih ada "Inlandsch Verponding" — satu perbuatan hina yang
tidak tahu malu — sebagaimana yang belum pernah dilakukan oleh seorang raja
yang selalim-lalimnya di Jawa. Mr. Yeekes menerangkan dalam "de
Opbouw" (tahun 1923) bahwa pendapatan rakyat Indonesia pukul rata f 196
setahun. Dari pendapatan itu banyak yang harus dikeluarkan sebagai pembayar
pajak, dan di luar Jawa untuk rodi pula, hingga pendapatan sebulan tinggal f
13. Satu angka yang jauh di bawah minimum. Perhitungan Mr. Yeekes ini adalah
untuk seluruh Indonesia, jadi penda-patan rakyat di Jawa Tengah tentu lebih
sedikit lagi.
Kita di zaman modern ini sedih dan heran
melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat
tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup
dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawatt
kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tam-\bang, kolera dan sampar;
"hanya" ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela.
Suatu keuletan yang patut dipuji!
2. Kegelapan
Masih saja "pemerintah tani dan
tukang warung" Belanda takut kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti
kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok "buruh
intelektual". Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik pengajaran
Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia terlalu bodoh untuk memikirkan
bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan imperialisme Inggrislah, maka dulu
sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit kerapkali membantu
pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas intelektual, termasuk juga
kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan
gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama dengan
borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan ekonomi, maka Inggris dapat
memerintah terus di India walaupun digempur oleh gerakan noncooperation
baru-baru ini.
Pemerintah Belanda di dalam perdebatan
selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di
Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil.
Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat
disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.
1. Bahwa pemerintah ini, sesudah
menyesal, seharusnya sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia
dengan belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan omong kosong.
2. Bahwa bangsa Indonesia baik otak
maupun kebangsaan tidak lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari
bangsa mana saja, dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima pengajaran
yang macam mana sekalipun.
3. Bahwa universitas Indonesia yang
pertama tak perlu cangkokan atau tiruan dari Eropa,tetapi dengan memperhatikan
perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan keadaan
masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.
Filipina — yang 12 juta penduduknya —
sudah mempunyai empat universitas dan beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia
dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak belum mempunyai sebuah juga.
Sekejap pun tak kita lupakan, bahwa bila "orang Belanda" mendirikan
universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan pasti lebih tinggi daripada
di koloni lain sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi
daripada universitas di mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata
hati sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda, "Cobalah
dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!"
"Perbuatan itulah yang
sebenarnya harus kamu buktikan!"
Tetapi, selain duit yang bagi seorang
Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada
pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani
dusun yang dungu itu. Belum selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen
Pengajaran, menerangkan dalam sidang Dewan Rakyat bahwa mendirikan suatu
perguruan tinggi belum tentu melahirkan buruh terpelajar, karena kebutuhan akan
buruh pelajar itu untuk sementara waktu ini berkurang, disebabkan kesukaran
ekonomi yang nanti tentu akan pulih. Dengan ini lenyaplah "momok"
seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30 Juni. Akibat politik
pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita ingin
memastikan, dengan angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan tinggi,
semenjak dulu tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu harus
diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya
"pemerintah". Kita lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang
sudah beberapa tahun, katanya, mengeluarkan berpuluh-puluh dokter, mister, dan insinyur.
Kita tujukan pembicaraan sebentar kepada soal sekolah rendah. Jumlah anakanak
yang harus masuk sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%,
Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang
seharusnya bersekolah tak
mendapat tempat (menurut laporan kongres
N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant). Mereka yang
bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin juga 2% sampai
3%. Jumlah belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah adalah f
20,000,000 dan f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak Eropa dan f
12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000 tukang bayar pajak rakyat Indonesia.
Pada tahun 1923 belanja perguruan itu f 34.452.000. Jadi, untuk seorang anak
bumiputra pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang
dikeluarkan untuk anak Filipina. Untuk badan-badan lain, yang memperlihatkan
contoh yang baik kepada rakyat yang tak senang, seperti polisi, militer dan
armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f 156,274,000. Tambahan pula
seperti yang sudah dimufakati antara dia sama dia, di lain tahun akan
dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat sekali di atas bahu si Kromo
yang merana itu.
Kita, kaum revolusioner, pada tahun 1921
bermaksud untuk memperbaiki keteledoran pemerintah dalam pendidikan itu dengan
mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan,
seperti kesulitan teknis, kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya
dapat kita dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000
orang murid dan jumlah itu bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet
dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah
itu dilarang mengajar, dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan
penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan,
diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini
disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan
guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.
Sebuah pergerakan rakyat yang sehat
menuju ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak
memandang susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922
ditimpa nasib yang seburuk itu pula. Politik pemerintah ini dalam soal
pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa Indonesia, harus
tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum ter pelihara" .
3. Kelaliman dan Perbudakan
Meski sudah 300 tahun Indonesia
berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat kita hidup di dalam
keadaan yang tak mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak pernah sehari juga
mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan nyawanya sekalipun.
Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin keras putarannya. Kaum buruh tidak
boleh mengadakan perhimpunan atau mengemukakan keberatannya. Permohonan rakyat
yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai
rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan karena itu,
dengan tidak diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam penjara, disekap di
kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati.
Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi yang rupanya
lebih suka tenggelam dalam kebusukannya sendiri.
Sekarang marilah kita persilakan Prof.
Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan mencela sikap pemerintah
Belanda, seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond.
Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70% penduduk yang hidup dari
pertanian; dan karena itulah, maka penting bagi seorang terpelajar — yang
kehormatan dan kedudukannya belum pernah dicurangi orang —
supaya mendengar apakah yang sudah
diperbuat terhadap si tani dalam beberapa tahun oleh sebuah kekuasaan yang
mengaku dirinya sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa berbuat serupa
itu.
Kita bukan hendak mengorek-orek yang
sudah terjadi maka lebih dulu diperbincangkan kejadian-kejadian semenjak 60
tahun dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu dan membenarkan perkataan
bahwa di tahun-tahun itu "orang Jawa dianiaya". Akan tetapi tidak
semua orang dengan lekas melihat macam apa dan sampai ke mana batas penggencetan
atas milik kaum tani itu. Untuk mengetahui hal ini, tak usah kita baca bukubuku
kelaliman pemerintah Belanda ini sebagai "kaum penghasut dan penyebar
kebencian", tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.
Kesewenang-wenangan Daendels, biar bagaimana busuknya, masih dapat dianggap
luar biasa. la mempunyai kekuasaan sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk
menggaji pegawai bumiputra (hlm. 12 dan dll).
Seterusnya van Vollenhoven berkata:
"dibandingkan dengan peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk
dengan kebiasaan kita, "masih terbatas" dalam kerajaannya saja, Kedu,
Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh
pulau itu" (hlm. 16). Pegawai-pegawai desa mengambil suatu kepunyaan
rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang buruk kepada rakyat yang bodoh.
Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).
"Apakah yang kita harapkan
sekarang?” tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan
menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah
terjadi). Apakah kita berang,sur-angsur tidak lagi akan mengambil sawah ladang
dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan
menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan
rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar mendiamkan tangan kita
yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).
Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang
haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang mengadukan halnya kepada kontrolir,
ia akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia menghadap Presiden Pengadilan
Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada waktu!" dan bila orang itu pergi
minta perlindungan Wali Negeri, "Sri Paduka Tuan Besar tidak berkenan
menjawab". Dalam bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu "godsgeklaagd"
(hlm. 26).
Seringkali terjadi di tengah-tengah
sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada
sawah atau lading bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh
diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam
praktiknya orang berikhtiar membujuk si inlander supaya mau menukar haknya
dengan uang (hlm. 26). Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof. van.
Vollenhoven yang tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya itu. "Tetapi
rupanya inilah yang sepenting-pentingnya orang Indonesia yang punya tanah
sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran
terus menerus; dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai
daya upaya yang tak habishabisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya
upaya supaya ia jangan dapat mempergunakannya" (hlm. 28). Kita masih dapat
mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan van Vollenhoven yang berkenaan dengan
penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat undang-undang, dengan merusak
dan melanggar undang-undang itu sendiri dan tentang sebab-sebab pemberontakan
di Sumatera, Borneo, yakni pencurian tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut di
atas sudah memadai. Dan tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu
kesewenang-wenangan yang kasar jika kita menggunakan perkataan Prof. van
Vallenhoven itu sendiri? Adakah rakyat kita diberitahu waktu pemerintah
mengambil suatu keputusan dan memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan
kemerdekaan kita?
Tidak pernah! Persis sebagaimana
pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita, "Apakah kita menyukainya
atau tidak?"
Bangsa Indonesia yang 55 juta itu tidak
mempunyai wakil seorang jua pun dalam pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan
suara atau nasihat, protes atau celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang
menghisap darah dan menguasai nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih.
Mereka tak dapat kita hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka
ini mesti kita terjang bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak!
Kesimpulannya, sekalian dan peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat
sesuka hati mereka sendiri dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik,
semuanya adalah "pencurian". Marilah kita perhatikan nasib 300.000
kuli kontrak, yang "katanya" dilindungi oleh pemerintah ini. Upah
yang kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak cukup untuk membeli pakaian
yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari dipakai kerja di kebun. Sehari
bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya jauh letaknya
dari pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli, meskipun di dalam kontrak hanya
tertulis 10 jam. Perlakuan pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat
digambarkan sebagai penikaman, pembacokan; penganiayaan dan
pembunuhan atas asisten-asisten kebun
dan "kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah
terjadi pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang
merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka banyak berutang kepada
majikannya, hingga kontrak mereka terpaksa selamanya diperbaharui.
Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum
tani yang kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan
dalam satu "kontrak" yang
diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak boleh
berorganisasi dan mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat menagih upah
dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan seperti di negeri-negeri lain.
Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat dipertahankan oleh
"saudagar budak" di zaman biadab.
Marilah kita ingat kejahatan-kejahatan
yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat penganiayaan baru-baru ini yang
dilakukan oleh orangorang Eropa di Lampung dan Sumatera Selatan, yaitu
kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan lebih dari
dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah atas
"bajingan-bajingan" Eropa itu.
Kaum buruh industri, perkebunan dan
pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa juta di Jawa dan lainnya, yang
diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya "buruh merdeka",
bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli. Satu per satu kakinya
diikat dengan rantai aturan, hingga tak dapat berorganisasi dan berjuang
melawan kapitalis yang sewenang-wenang. Di dalam Dewan Rakyat, Majelis Tinggi
dan Rendah, dan surat-surat kabar yang berlain-lainan tujuan itu, telah
berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok dari kaum buruh
Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di sini, atau kita uraikan hukum-hukum
paksa itu. Sekali lagi dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut perasaan
modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan kaum birokrat
kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya upaya mereka menuju perbaikan
nasib.
Semua undang-undang yang dijalankan itu
menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab dan perbudakan yang gelap. Begitu
banyak undang-undang paksa terhadap politik gerakan sehingga tak dapat kita
terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu mengenai si penjajah atau yang
dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu ini.
Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya
jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin yang mereka percayai dan
kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin dirampas beberapa bulan
kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus dibuang sebab dianggap
berbahaya atau secara khianat ditikam, dibacok, diketok kepalanya sampai mati,
atau dicabut nyawanya dengan peluru.
Bila diceritakan kepada rakyat bahwa
seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji Misbach yang katanya mati
"disebabkan demam hitam" pada satu pembuangan yang ditentukan oleh
pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja. Bilamana rakyat mendengar
bahwa seorang pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti Soegono kita, pemimpin
V.S.T.G yang katanya "membunuh diri" dalam penjara, sedangkan pada
kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan dan sebuah jarinya
hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa", juga tidak boleh
mengajukan protes sama sekali.
Dan pemerintah yang "katanya"
jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita, tidak mengadakan pemeriksaan saksama
tentang sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong dari pemimpin rakyat yang
cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek kata dicintai dan dipercayai
rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya keberanian moral akan mengakui
dan membetulkan kesalahannya dan menghukum yang bersalah menurut undang-undang Fiat
justitiaruate cellum. (Jalankanlah keadilan meskipun langit akan runtuh!)
Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit
putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan
pengadilan.
VI
KEADAAN SOSIAL
Kecurangan tukang waning
Belanda yang sudah tiga ra tus tahun dalam dunia imperialistis yang disebut
kolo nisator menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya
di seluruh Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak dalam
pertanian yang sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan dengan
jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam se jumlah sindikat dan trust
yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani,
pedagang -pedagang kecil dijadikan buruh. Mereka berjubel-jubel sebagai buruh
industri di kota-kota dan buruh tani di ke bun-kebun. Semua ini melahirkan
kesengsaraan, perbu dakan dan kegelisahan.
Jika pertentangan kelas yang
sebenarnya menyerupai satu jurang yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-ne
geri Barat dan Jepang menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di
Indonesia jurang itu diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia.
Pertentangan ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin
sekali dapat memancing perang-perang kemerdekaan. "Pertentangan" Belanda
kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda
dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang
setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital
modern dar bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa,
bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah.
Di negeri-negeri kapitalis
yang maju, pertentangan sosial terbagi atas dua kelas: kelas kaum kapitalis
dengar para pengikutnya dan kelas buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai
tanah, pabrik, kereta api, kapal dan bank, dan menambah kekayaan dalam keadaan
biasa dengan jerih payah kaum buruh yang tidak dibayar, yang dilukiskan oleh
Marx "met de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde". Kaum
buruh ialah mereka yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka
yang dulunya adalah petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya
punah sama sekali kecuali tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini
"tunduk" kepada turun naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis
hidup dari pemerasan dan kaum buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan
oleh "undang-undang besi" dalam "tawar-menawar" di pasar
tenaga — tidak dapat menutup harga kerja yang dilakukan (karena persaingan
hebat di pasar tenaga dan kecemasan akan mati kelaparan, terpak sa buruh itu
menerima upah yang serendah-rendahnya).
Supaya dapat mengadakan
pemerasan atas kelas bu ruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang
jum lahnya kecil, mempergunakan "senjata gaib", seperti se kolah,
gereja atau masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi,
tentara, penjara, dan justisi. Parlemen, masjid, gereja, sekolah dan
surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan
pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mere ka tak dapat berlaku seperti
itu, dipergunakanlah penja ra, polisi dan militer. Persaingan ekonomi sesama
kaum kapitalis menye babkan timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan mu
suh-musuhnya yang terpencil. Kalau kongsi dalam persaingan "mati-matian"
tak dapat menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan kompromi. Kedua kongsi
yang dulunya bermusuhan, sekarang menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka
dapat menaikkan harga barang barangnya dengan sesuka hati, sehingga merugikan
si pembëli (buruh dan tani miskin).
Jadi, sindikat itu adalah
gabungan dari beberapa kongsi. Akan tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya
sendiri dan merdeka seperti biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan
terpusat ke satu pimpinan untuk per juangan ekonomi, dibentuklah satu trust.
Jadi, sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trustseorang saja, dan
begitu juga cara kerjanya, sebuah trust dapat secara lebih sempurna
menguasai pasar dunia daripada sindikat.
Di pasar negeri-negeri Barat, terutama
Amerika, kita lihat sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pab rik
minyak dan maskapai kapal yang dulunya terpecah- pecah sekarang bersatu dalam trust
yang besar, dikepa lai oleh raja-raja trust. Kita dengar nama-nama
seperti Mor gan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford
Raja Mobil.
Di Jerman kita lihat bagaimana trust
yang banyak itu diikat menjadi satu "gabungan trust".
Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas, maskapai kapal dan kereta api se muanya
tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah,
Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, se
lanjutnya ongkos pengangkutan dan advertensi dari ba rang-barang pabrik itu.
Pembentukan trust seperti ini di tiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri
dari mas kapai menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust
ke gabungan trust.
Bank meminjamkan uang kepada industri
dan perke bunan; bank itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang
tinggi, yang dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi itu
ditarik si peminjam da ri buruh mereka, dan si buruh menarik hanya dari keri
ngat dan tenaganya. Kepada negara, bank juga meminjamkan uang yang mesti
dibayar dengan bunga yang ti dak rendah. Bank negara pada gilirannya menarik
pajak yang banyak sekali dari kaum buruh (sebab merekalah yang terbanyak
jumlahnya) untuk membayar utang itu beserta bunganya. Ke negeri-negeri asing,
bank memimjamkan uangnya dengan bunga yang serupa. Bank, "benteng
kapitalisme", jadi penguasa industri, pertanian dan pemerintahan suatu
negeri, dan dengan penanaman modal di negeri asing itu, ia juga menguasai
negeri-negeri itu. Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang
mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli negara dan ahli
politik,
dan langsung atau tidak menggaji atau
menyuap mereka. Dengan adanya trust maka ditaruhnya pimpinan perusahaan bank ke
tangan beberapa bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin
industri, pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan politik, pendeknya
masyarakat kapitalis modern.
Dengan memperhatikan hal tersebut di
atas, tampaklah kepada kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang
yang berharta dan jumlah kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di
negeri-negeri kapitalistis yang cerdas seperti Inggris, Jerman dan Amerika,
jumlah buruh yang pandai dan yang tidak kurang lebih 75% dari penduduk.
Jumlahnya pemangku tangan, tetapi berkapital dan produksi makin lama makin
sedikit. Kekuasaan dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak
mempunyai apa-apa, makin lama makin banyak, dan organisasi mereka demikian
pula. Pertentangan kaum pemangku tangan dengan buruh miskin makin lama semakin
tajam dan akhirnya menimbulkan revolusi sosial.
Di Indonesia proses kapitalisasi itu
hampir tidak berbeda dengan garis-garis besar yang diuraikan di atas. Sau
dagar-saudagar Indonesia dan perusahaan yang kecil-ke cil sudah lama lenyap
dari masyarakat. Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi
makan, petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak
berpengharapan di belakang hari. Ke kuasaan atas tanah pabrik, alat-alat
pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan dalam ta ngan
beberapa sindikat seperti Avros, Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam
dan lain-lain. Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan
beberapa orang kapitalis.
Pertentangan sosial antara kapitalis dan
buruh di In donesia — berhubungan dengan satu dan lain hal — le bih tajam
daripada apa yang kelihatan oleh mata. Keuntungan besar dari gula, minyak,
karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong
bangsa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indo nesia, tetapi bukan
sebagai kenaikan gaji buruh, melain kan sebagai penambah "kapital"
yang sudah ada, buat jadi "alat penghisap" yang baru pula. Sebagian
besar ke untungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang ver lof atau
pensiun pegawai-pegawai Belanda.
Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya
dapat di perbaiki dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepa dan (dengan
memperhatikan) harga barang keperluan se hari-hari. Dengan pembukaan beberapa
kebun besar, me mang ada kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan,
tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang
kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan kapitalisasi itu, barang
keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sung guh tak dapat dipungkiri
bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan
dengan kenaikan gaji buruh.
Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama
tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan ke rapkali
diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh persaingan
yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa cepat sekali bertambah nya dan
kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pe kerjaan. Jika kaum kapitalis itu
bangsa Indonesia, tentulah ke miskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu
sebab si sa keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilemparkan pada rakyat.
Gaji buruh boleh jadi dinaikkan; pe ngajaran, koperasi rakyat, industrialisasi
dan kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak se mua itu
terjadi, sebab untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia
keluar negeri.
Selain dari proses pengeringan ini,
pertentangan so sial dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang
bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa lain dari rakyat dan
pemerintah bukan pemerintah rak yat. Kaum kapitalis dan pemerintah memeluk
agama lain, mempunyai kesusilaan dan kebiasaan lain, serta ideo loginya berbeda
dengan rakyat. Dalam pergaulan seha ri-hari antara kapitalis dan buruh, antara
pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting sekali. Kapitalis Belan da tidak
mengenal buruhnya, pemerintah Belanda mengenal rakyatnya. Bukan dia tak ingin
mengenal rakyat. Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah mudah
bagi Belanda akan menyelami batin peng huni khatulistiwa ini sebab mereka
tidak menyiapkan faktor-faktor yang
perlu, seperti pendidikan, bahasa per gaulan sosial dan kepercayaan rakyat.
Oleh karena itu lah, Belanda yang katanya "sopan" kerapkali mengeluar
kan kata-kata yang kotor terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan
menyukai pemerintah Be landa. Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasa kan
kekuasaan Gubernur Jenderal Amerika dan boleh di katakan tidak mendapat
kesusahan dari pembesar-pem besar Amerika, masih saja terus mereka menuntut
kemer dekaannya, demikian jugalah bangsa Indonesia-selatan akan tetap menagih
kemerdekaan yang mutlak dan se luas-luasnya. Sebagaimana seorang manusia tak
suka di ganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula rak yat. Mereka
lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau dikuasai oleh bangsa
lain. Terserah kepada kita memperhatikan, apakah perten tangan Belanda
kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu
saja!
Pertentangan ini lambat laun berkurang
bila pemerin tah sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan
ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh rakyat Indonesia.
Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan industri ba ru (kapas, karet,
pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tam bang dan lain-lain), membuka pertanian
besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi rakyat
dengan bunga yang rendah, memberi bantuan pi kiran dan
bahan kepada kaum tani, tanah kepada
bekas -bekas petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan mengurangkan jam
bekerja, meringankan atau menghapus kan pajak dan membesarkan pajak perkebunan
atau ke bun-kebun besar, dan industri dijadikan hak bersama, yai tu pemerintah,
memberikan hak dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya kepada bumiputra,
mendirikan perwakilan rakyat yang "sejati" yang daripadanya dipilih
sa tu badan yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya ke pada rakyat Indonesia,
menghapuskan segala badan birokrasi yang tak berfaedah, seperti Raad van
Indie, de Al t gemeene Secretaris dan lain lain.
Tentu tak akan terjadi!
Setengah dari itu pun tak akan terjadi.
Taruhlah secara tiba-tiba imperialis Belanda melemparkan "politik warung
kecilnya" dan mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah
terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya cita-cita,
keberanian dan alat-alat untuk mengadakan perubahan yang berarti sedikit. Ia
terlalu "daif" (lemah) untuk melakukannya dan tidak ada pula borjuasi
bumiputra modern dapat membantunya.
Adapun "kapital luar negeri"
yang bertitik-titik beberapa dollar dari wallstreet hanya seumpama beberapa
butir kerikil yang dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara
imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia. Perbaikan radikal seperti di
Filipina dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di
Indonesia dari Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini,
Amerika dalam waktu yang singkat nis caya akan datang di Indonesia dengan
beberapa ribu juta rupiah. Tetapi mustahil! Sebab bertentangan dengan ke
pentingan dan "kehormatan" Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar
di Indonesia akan
mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan
kalau keuangan terikat, kapital Be landa tak berarti (dan tukang warung Belanda
terpaksa jadi bonekaboneka Paman Sam).
Tentu saja "Meneerge" tidak
mau! Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan eko nomi
dan politik Amerika akan bertambah besar di bagian yang strategis dan penting
sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya akan ditentang oleh
Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang
lama dan dahsyat.
Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang
enggan mus nah, lebih baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya.
Lagi pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan
Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai durhaka.
VII
KEADAAN POLITIK
1. Tinjauan ke Belakang
"Politik" di
Indonesia belum pernah jadi "a common good", kepunyaan umum
rakyat. Paham kenegaraan tak pernah melewati segerombolan kecil penjajah Hindu
atau setengah Hindu. Sebagaimana dalam kebanyakan negeri feodalistis di
Indonesia, pemerintahan negeri dipegang oleh seorang raja dan komplotannya.
Seorang raja sesudah berhasil menjalankan peran "jagoan", lalu
mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan. Anaknya yang bodohnya lebih dari
seekor kerbau atau seorang tukang pelesir, di belakang hari, menggantikan
ayahnya sebagai yang dipertuan di dalam negeri. Peraturan turun-temurun
ini "lenyap" apabila seorang "jagoan" baru datang
menjatuhkan yang lama, dari mengangkat dirinya pula jadi raja.
Konstitusi tidak ada yang
menentukan penobatan atau pemaksulan seorang raja dengan menteri-menterinya,
serta menetapkan dengan saksama. Semua kekuasaan dan cakupan pengaruhnya
bersandarkan pada kekerasan dan kemauan raja, juga kepercayaan dan perhambaan
masa. Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, rakyat sebagai yang dikatakan
Lincoln tak pernah dikenal di Indonesia. Kadang-kadang ada seorang rajalela
yang "agak adil" di panggung politik. Akan tetapi, hal ini adalah
suatu perkecualian, kebetulan dan keluarbiasaan. Tidak ada yang dapat dilakukan
rakyat jika tiada raja yang begitu selain berontak. Indonesia hanya mengenal
pemerintahan beberapa orang dan tak pernah mengenal hukum-hukum yang tertulis.
Keadaan di Minangkabau sedikit
berlainan. Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para
penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang
tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama "mufakat" yang diperoleh dari
perundangan dalam satu rapat.
Tiap-tiap rapat mesti
terbuka seluas-luasnya dan menurut kebiasaan yang pasti. Laki-laki dan
perempuan dalam rapat mempunyai hak bicara sepenuh-penuhnya yang dengan cara
bagaimanapun tak boleh dikurangi. Baik terhadap perkara daerah atau nasional,
"undang-undanglah" yang berkuasa setinggi-tingginya.
Akan tetapi, keadaan seperti
itu terdapat di Minangkabau saja, yaitu daerah kecil terpencil di Kepulauan
Indonesia. Oleh sebab itulah, orang di sana tidak seberapa terpengaruh oleh
Hindu dan Arab, pendeknya, dalam hal politik. Meskipun orang Belanda, andaikata
ingin memperlakukan rakyat Indonesia dengan hormat seperti terhadap sesamanya,
misalnya seperti di bagian lain-lain dari Indonesia, dalam merancang dan
menjalankan undang-undang dan dalam membentuk dan memaksulkan pemerintah, "rakyat
tidak boleh campur tangan".
a. Pokok Undang-Undang
Minangkabau
"Anak kemenakan beraja
kepada penghulu, Penghulu beraja kepada mufakat. Mufakat beraja kepada alur dan
patut". Demikian pula halnya di Kerajaan Poko-Dato, Sriwijaya, Majapahit
dan Mataram. Karena rakyat tidak campur tangan dalam pemerintahan
negeri, dapatlah Kompeni Hindia-Timur menaklukkan atau berkompromi dengan
raja-raja Indonesia, dan mendapat kekuasaan sedikit ke sedikit, dan akhirnya
seluruh Indonesia jatuh ke tangannya.
b. Perwakilan Rakyat atau Soviet
Selama penjajahan Belanda, terlahir
nisbah sosial yang lambat laun meminta pemecahan atas soal susunan negara
tetapi pemerintahannya belum tentu secara parlemen atau Soviet. Parlementarisme
di negeri-negeri Barat dilahirkan oleh kaum borjuis sewaktu kekuasaan
sewenang-wenang merajalela di sana dan kaum borjuis dengan perniagaan dan
industrinya yang semakin maju merasa digencet dalam memperbesar perusahaannya,
oleh raja-raja feodal: yang merintangi dengan pelbagai cukai dan pajak yang
tinggi-tinggi, sementara borjuasi tidak mempunyai hak politik. Dalam keadaan
begitulah lahir Magna Charta, Cromwellisme, dan Revolusi Prancis. Selanjutnya
Voltaire, pemimpin borjuasi yang hebat habis-habisan menggempur agama Katholik
dan pendeta-pendetanya, lalu ia mengajarkan paham "atheis"
(memungkiri Tuhan).
Rousseau menentang autokrasi dengan
demokrasi dan untuk menentang pemerintahan turun-temurun, diajarkannya
"kontrak sosial", yakni satu pemerintahan yang mengadakan kontrak dengan
rakyat. Menurut ajaran Rousseau, seorang raja hanya boleh memerintah selama ia
berbuat sesuai perjanjian; rakyat harus menentangnya bila perjanjian itu
dilanggar. Karena borjuasi Prancis merasa kurang kuat melawan kekuasaan raja,
bangsawan dan pendeta, bersatulah mereka dengan massa revolusioner, yaitu kaum
buruh dan tani. Akan tetapi, massa ini tidak boleh berkuasa. Mereka semua hanya
dipakai sebagai umpan meriam dalam revolusi borjuasi, sedang kekuasaan dipegang
oleh kaum borjuis. Dengan semboyan "Liberte, Egalite, dan Fraternite"
yang sekarang jadi demokrasi, liberalisme dan parlementarisme, mereka dapat
merobohkan pemerintah feodalistis. Sesudah memperoleh kekuasaan politik,
"demokrasi borjuasi" menunjukkan dirinya. Biarpun dalam negara
parlementer, seperti Inggris, Prancis dan Amerika, tiap rakyat diberi hak dalam
pemilihan, tetapi kaum buruh dan si miskin di sana (orang yang terbesar
jumlahnya) senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan
parlemen sebab mereka terkurung di dalam pengaruh pikiran borjuis yang
dikembangkan di sekolah-sekolah, gereja, surat-surat kabar, dan terlebih lagi,
karena mereka kekurangan alat-alat propaganda (ruangan rapat, koran dan brosur
yang semuanya mahal). Borjuis dengan profesor, jurnalis, pendeta dan kaum
diplomatnya yang bergaji besar, dapat memperoleh kemenangan waktu pemilihan
parlemen.
Karena anggota-anggota parlemen memegang
jabatannya selama tiga atau empat tahun, hubungan antara si pemilih dengan yang
dipilih sangat renggang. Mereka berhadapan dengan rakyat di waktu pemilihan
saja, dan itulah yang menyebabkan wakil tadi menjadi birokrat sejati. Oleh
karena perceraian Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (badan yang membuat
undang-undang) dengan kabinet (badan yang menjalankan undang-undang) jatuhlah
kekuasaan yang sesungguhnya ke tangan kantor-kantor yang selalu berhubungan
rapat dengan bank-bank. Begitulah akhirnya, asas demokrasi dan aturan
parlementer ditelan oleh tuan-tuan besar bank (Morgan di Amerika, Locheur di
Prancis, dulu Stinnes di jerman), itulah "demokrasi resmi": terbentuk
karena dana. Begitulah, demokrasi yang sebenarnya di masa ini menjadi diktator
dari borjuasi (Cromwellisme, Napoleonisme dan sekarang berupa Pascisme) yang
bersembunyi di belakang pers, sekolah, gereja dan bertopeng parlemen dalam
ketenangan masa kecerdasan kapitalisme Dan kekuasaan politik yang
sebenar-benarnya, seperti ekonomi, selamanya di tangan borjuasi.
Sovietisme dan parlementarisme sudah
saya uraikan dalam brosur "Parlemen atau Soviet" (dicetak tahun 1911)
Oleh sebab itu, di sini hanya pokok-pokoknya yang saya uraikan.
Di zaman pergerakan proletar dan
revolusi ini, kaum buruh yang tak mau damai itu mengemukakan segala
pertentangan dan pendiriannya terhadap kekuasaan kaum. borjuis, seperti
borjuasi merobohkan kaum feodalis dalam perjuangan rohani dan jasmani selama
100 tahun (1740- 1848).
Peraturan ekonomi komunis
dipertentangkan dengan kapitalis, diktator buruh dengan diktator borjuis,
Sovietisme dengan Parlementarisme. Sebagaimana parlemen adalah ciptaan
borjuasi, Soviet adalah ciptaan diktator buruh yang dengan pertolongan kaum
tani menguasai borjuasi. Jadi Soviet adalah alat politik di tangan kaum buruh
yang diadakan sebelum atau selama revolusi. Soviet itu merupakan keadaan
politik yang
membelokkan masyarakat kapitalisme ke
arah komunisme dengan jalan nasionalisasi segala alat-alati produksi serta
mengurus sekalian produksi dan distribusi secara komunistis.
Badan-badan ekonomi, politik dan
pendidikan yang dibentuk selama pemerintahan diktator itu, dipakai bukan saja
untuk melemahkan dan menghancurkan borjuasi di gelanggang politik, ekonomi, dan
ideologi, melainkan juga untuk mencerdaskan semua tenaga masyarakat ke arah
komunisme.
Sementara buruh mengadakan diktator
terhadap borjuis, di dalam kelasnya sendiri sudah ada demokrasi yang
sesungguhnya. Ia berkekuasaan politik yang sebenarnya sebab ia menguasai semua
alat produksi dan distribusi. Tambahan lagi, ia akan mempunyai semua alat
penyebar semangat, seperti sekolah, surat kabar dengan secukupnya. Soviet
berikhtiar menghancurkan "birokrasi" yang biasa terdapat dalam
susunan parlementer. Supaya tercapai maksud ini dijalankan tindakantindakan
berikut ini.
(1) Waktu pemilihan dipersingkat.
(2) Hubungan si pemilih dengan yang
dipilih didekatkan dan si penyusun undang-undang dengan si pelaksana disatukan
dan dibentuk satu badan yang sama-sama membuat dan menjalankan undang-undang.
(3) Wakil-wakil itu kapan saja boleh
diangkat dan diberhentikan.
(4) Ke dalam pemerintahan sedapat
mungkin dimasukkan kaum buruh.
Kaum buruh yang berkesadaran tinggi,
yang seharusnya memegang pemerintahan negeri karena kaum borjuis akan selalu
berdaya upaya
menuntut kekalahannya yang dulu dirampas
oleh buruh, dan hal ini tentulah dijalankan mereka dengan kontrarevolusi.
Mereka ini disusun dalam partai komunis.
Menurut keadaan itu, nanti kekuasaan
politik diperas sampai kepada buruh-buruh berorganisasi dan serikat sekerja dan
akhirnya ke seluruh kaum buruh.
Semestinya, tiap-tiap kelas yang
revolusioner hendaknya merampas dan mempertahankan semua kekuatan politik.
Karena kalau ketentaraman politik di tiap negeri sudah kokoh, dapatlah
usaha-usaha ekonomi dijalankan dan, bersama dengan itu, hiduplah demokrasi ang
sesungguhnya. Indonesia belum pernah mengenal "demokrasi". Dan arena
borjuasi bumiputra yang kuat tak ada, buat sementara waktu, Indonesia tidak
akan berkenalan dengan demokrasi itu. Semua daya upaya untuk memperolehya tidak
akan berhasil, dan boleh dikatakan bahwa semua cita-cita seperti itu — diktator
— demokrasi borjuis - adalah tidak mungkin. Hanya kelas buruh Indonesia aja
yang dapat memegang diktator (bila ia tetap insaf dan bekerja). Ia menguasai
kehidupan ekonomi.
Dan di waktu sekarang, buruh merupakan
salah satu kelas yang mempunyai organisasi yang terkuat di Indonesia. Kita tak
usah menyesal bila kita langkahi zaman “demokrasi tipuan” itu! Kekokohan
politik Republik Indonesia dapat dipertahankan oleh diktator buruh yang
kekuasaan semangatnya terkandung dalam satu partai revolusioner yang
"kuat". Lama-kelamaan kekuasaan politik dapat diperluas kepada
tiap-tiap buruh Indonesia.
2. Dewan "Rakyat" Kita!
Perbuatan birokrasi yang buruk dan
kemunafikan besar! Sungguh hanya pada bangsa Filistin dahulukah kita dapati
kekerasan dan kecurangan seperti sekarang ini? Di manakah rakyat yang berdiri
di belakang Dewan Rakyat itu? Dan apakah yang sudah diperbuat Dewan Rakyat yang
mahal itu untuk rakyat? Di antara 48 orang anggota, 20 orang adalah bangsa
Indonesia dan 28 orang asing yang mewakili kapital asing. Dengan keadaan
demikian sia-sialah semua ikhtiar anggota akan mendapat kemenangan suara.
Andaipun dewan itu adalah dewan yang
sesungguhnya, sebenarnyalah dewan itu tak dapat berbuat sesuatupun sebab semua
nasihatnya boleh dibuang ke dalam keranjang sampah oleh orang yang berkuasa
(Dewan Rakyat bukanlah badan pembuat undang-undang, melainkan badan penasihat).
Jumlah anggota bangsa Indonesia terlalu
kecil dan, oleh sebab itu, mereka tak dapat menyatakan kehendak rakyat. Jika
kita ingat Negara Belanda yang jumlah penduduknya 7,000,000 mempunyai 100 orang
anggota Tweede Kamer (anggota Eeste Kamer tidak masuk), niscaya
Indonesia yang jumlah penduduknya 55,000,000 sepatutnya secara parlemen
mempunyai sekurang-kurangnya 600 orang anggota. Di antara 20 orang anggota
Indonesia yang ada di dalam dewan itu tak seorangpun yang betul-betul wakil
rakyat atau dipilih rakyat, apalagi untuk rakyat. Delapan orang diangkat oleh
Gubernur Jenderal dan kebanyakan dari mereka ini pemburu pangkat, seperti wakil
Sumatera, Demang Loetan, dan dari Jawa, Dawidjosewojo. Atau mereka itu seperti
anak bengal politik seperti contoh yang sebaik-baiknya, ditunjukkan oleh yang
dipertuan Tuan Soetadi. Anggota lain-lainnya dipilih oleh rapat-rapat gementee
(PEB), bukti ini cukup terang! Tak ada faedahnya dalam buku ini kita tuliskan
semua kebusukan birokrasi Belanda. Pun tak ada faedahnya bagi kita, kaum
revolusioner, mengeritik dengan sungguh-sungguh semua usul-usul yang
diperbincangkan atau yang telah diterima oleh dewan itu. Jika kita tak mau
diperdaya oleh nama-nama yang bagus dan janji yang manis-manis dari pemerintah
ini, dapatlah kita menyimpulkan semua politik kolonial Belanda sebagai berikut.
1. Bangsa Indonesia yang 55,000,000 itu
tak mempunyai hak bersuara tentang politik.
2. Kapitalis besar memerintah dengan
perantaraan kaum birokrat yang tak punya hati dan militeris yang picik.
3. Dewan Rakyat itu "seekor
lintah" yang melekat di punggung rakyat Indonesia.
3. Harapan kepada Badan Perwakilan
Rakyat.
Adakah harapan bagi Indonesia kelak akan
memperoleh semacam Badan Perwakilan Rakyat? Jawab yang pasti:
"tidak". Mendirikan Badan Perwakilan Rakyat selama pertentangan
sosial dan kebangsaan seperti sekarang, berarti matinya imperialisme Belanda
atau" hancur" mesin politiknya.
Hal ini harus diketahui oleh tiap-tiap
bangsa Indonesia!
Ini bukan soal "matang" atau
"mentahnya" bangsa Indonesia melainkan, seperti yang sudah
berulang-ulang kita uraikan di bagian lain dalam buku ini, disebabkan oleh
ketiadaan borjuasi bumiputra modern, yang kepentingan ekonominya sedikit banyak
sama dengan borjuasi imperialistis-kapitalistis.
Kalau di masa sekarang wakil-wakil dari
seluruh atau sebagian rakyat Indonesia dipilih oleh orang Indonesia dengan
pemilihan yang sebebasbebasnya niscaya dengan segera akan menghadapi masalah
kelas. Jika mereka tak suka menipu si pemilih, wakil-wakil mereka seharusnya
mengangkut masalah perbaikan ekonomi, sosial dan politik untuk melawan kapital
besar. Hal ini bukanlah perbaikan kecil-kecilan yang dijalankan perlahan-lahan
oleh kaum birokrat, melainkan perubahan radikal yang dikerjakan dengan cepat
dan praktis di bawah pimpinan dan pengawasan wakil-wakil rakyat.
Sebagai misal pencuri-pencuri seperti
pada Perusahaan Beras di Selat Jaran dan perusahaan pemerintah yang lain
semestinya tidak dihukum dengan pemecatan yang "tidak terhormat"
seperti yang biasanya dilakukan pada pencuri kecil-kecil. Tuan-tuan yang
berbuat begitu yang digaji oleh rakyat tapi merusakkan perusahaan rakyat,
semuanya harus digantung "dengan hormat". Jika kelak wakil-wakil rakyat
dapat mengadakan islah yang nyata, rakyat akan merasa, bahwa material dan moral
mereka sungguh bertambah maju, dan soal "bendera" (terjajah atau
terlepas dari Belanda) akan dilupakan sementara waktu. Bukan karena soal itu
tidak penting melainkan karena kesukaran yang besar-besar dapat disingkirkan
dan cita-cita politik sebagian besarnya dapat diwujudkan.
Kita tidak akan memperbincangkan hal
bentuk pemerintahan yang akan diadakan seperti yang digambarkan di atas. Soal
itu adalah soal angan-angan dan susunan pemerintahan negeri yang disandarkan
kepada "pertimbangan teoretis" belaka. Pati soal itu, apakah
imperialisme Belanda akan sanggup kelak mengadakan islah-islah yang nyata? Jika
sekali lagi kita ingat jurang pertentangan Belanda-kapitalis dengan buruh
Indonesia, ketiadaan borjuasi bumiputra, kelemahan dalam hal keuangan dan
kepicikan politik imperialis Belanda, pertanyaan itu tanpa menanggung risiko
besar dapat kita jawab dengan "mustahil!" Kesimpulannya, segala
kerewelan tentang perubahan pemerintahan negeri di Indonesia yang sekarang
sedang ramai diperbincangkan oleh orang-orang pintar dan birokrasi Belanda itu
membuang-buang waktu percuma. Jika rakyat Indonesia satu waktu memperoleh Badan
Perwakilan Rakyat, niscaya ini bukan "karunia dari atas" melainkan
disebabkan "desakan kuat" dari bawah.
VIII
REVOLUSI DI INDONESIA
1. Kemungkinan Besar Akan
Timbulnya Revolusi
Masalah politik, ekonomi dan
sosial yang mungkin menimbulkan revolusi di Indonesia rasanya tak perlu kita
kupas lagi, karena sudah beberapa kali kita terangkan di atas. Cukuplah
dikemukakan kesimpulan yang di bawah ini.
1. Kekayaan dan kekuasaan
sudah tertumpuk ke dalam genggaman beberapa orang kapitalis.
2. Rakyat Indonesia semuanya
makin lama semakin miskin, melarat, tertindas dan terkungkung.
3. Pertentangan kelas dan
kebangsaan makin lama semakin tajam.
4. Pemerintah Belanda makin
lama semakin reaksioner.
5. Bangsa Indonesia dari
hari ke hari semakin bertambah kerevolusionerannya dan tak "mengenal
damai".
Karena dugaan bahwa
imperialis Belanda dengan tiba-tiba menjadi cerdas, cerdik dan sanggup
mengadakan islah-islah yang merugikan kapitalis besar dapat dipandang sebagai
khayal dalam "Cerita Seribu Satu Malam" maka proses revolusi yang
berlangsung sekarang tidak akan tertahan. Sebaliknya, perjalanan makin lama
semakin pesat dan tiap-tiap waktu pecahnya revolusi boleh diharapkan. Apalagi
sebagian dari revolusi itu sudah terbukti. Beberapa pemberontakan yang pecah
dengan sendirinya di Jawa dan Sumatera selama 300 tahun dalam
"keberkahan" imperialisme Belanda adalah akibat perbenturan kelas dan
kebangsaan yang pada mulanya berupa pemberontakan agama. Juga kekacauan politik
semenjak 15 tahun, ini berupa berbagai hasutan dan aksi dan yang lebih jelas
berupa niatan dan perbuatan anarkis di Jawa dan pembunuhan atas pegawai-pegawai
Pamong Praja di Sumatera Barat yang melunturkan kepercayaan terhadap kekebalan imperialisme
Belanda, semuanya tergolong akibat perbenturan kelas dan kebangsaan.
Akan tetapi, perbenturan
besar antara kelas dan kebangsaan yang dahsyat, pecah semata-mata karena
pertentangan itu sendiri dan bersifat modern, yaitu berupa
"revolusi", belum terjadi di Indonesia! Kelak ia pasti melanda
seluruh kepulauan ini dan meletus-letus dengan sendirinya.
2. Sifat Revolusi Indonesia
yang Akan Timbul
Bagaimana rupa revolusi itu?
Apakah sifat-sifatnya yang ditunjukkan bila ia meletus besok atau lusa? Inilah
yang harus kita, sebagai revolusioner, tanyakan kepada diri sendiri dan
menjawabnya sekali, jika kita mau menjauhi politik "terombang-ambing"
seperti Douwes Dekker dan Tjokroaminoto. Menurut jawaban atas pertanyaan itu,
kita tempa alat-alat revolusi, yaitu program organisasi dan taktik kita. Pengupasan
yang cocok betul atas masyarakat Indonesia merupakan syarat terutama untuk
mendapat perkakas revolusi. Hal itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang
mendatangkan kemenangan revolusi kita.
Jika pengupasan itu tidak
sempurna atau kita keliru dengan ramalan dan kesimpulan kita, kemenangan itu
tidak akan pasti atau sebentar saja. Kita tak mempunyai horoskop yang dapat
melihat peristiwa yang bakal terjadi layaknya ahli nujum meramalkan kehidupan
seseorang di kemudian hari. Akan tetapi, dengan Marx dan Lenin sebagai penunjuk
jalan dapatlah kita tentukan sedikit garis-garis besar dari revolusi di Indonesia
(melihat tingkat kecerdasan kapitalisme pada waktu ini).
Tentulah revolusi itu akan berbeda
dengan "Pemberontakan Maroko". Hal ini benar sekali sebab Indonesia
tenaga produksinya lebih tinggi (industri, pertanian, pengangkutan dan keuangan
yang besar kuat) daripada negeri tani kecil dan gembala domba seperti Maroko.
Juga Indonesia, terutama Jawa, tidak berpegunungan yang dapat didiami dan gurun
pasir luas tempat kaum revolusioner menyembunyikan diri bertahun-tahun untuk
kemudian setiap saat dapat meneruskan perang gerilya.
Dan lagi, ia tak akan berupa revolusi
proletar sejati seperti di Jerman, Inggris dan Amerika (yang penduduknya
sebagian besar terdiri dari kaum buruh) karena kapital Indonesia masih terlalu
muda, belum subur dan masih lemah. Oleh karena itu, kaum buruh kita kalau
dibandingkan dengan kaum buruh di negeri Barat, jauh ketinggalan, baik
kuantitas maupun kualitasnya. Tambahan pula, keadaan kaum yang bukan buruh
yang juga akan turut mengadakan revolusi
masih ada di dalam zaman revolusi borjuasi dan revolusi nasional.
Revolusi kita juga tidak akan menyamai
revolusi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih
terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh
imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi Prancis tahun 1870
karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambahan
lagi nisbah sosial sangat berlebihan.
Akan berlainan pula ia dengan Revolusi
Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan lemah dan borjuasinya muda yang oleh
perang bertahuntahun menjadi sangat mundur, sedangkan kaum buruhnya muda,
gembira dan dididik menurut aturan Lenin. Kita harus berjuang melawan
imperialisme Barat meskipun kecil, ia tak boleh diabaikan sebab ia mempunyai
tipu kelicinan dan suka menjadi "pelayan" imperialisme Inggris yang
besar itu.
Ia akhirnya tidak akan menjadi revolusi
politik semata-mata seperti yang biasa akan terjadi di India, Mesir dan
Filipina, yaitu borjuasi bumiputra merebut kekuasaan politik saja (kekuasaan
parlemen) karena kapitalis nasionalnya kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih
banyak daripada di Indonesia.
Revolusi Indonesia sebagian kecil
menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang
imperialisme Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap
bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka. Pati revolusi
(sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri modern,
perusahaan dan pertanian (buruh mesin dan tani). Benteng-benteng politik,
terutama ekonomi imperialisme Belanda, hanya dapat dipukul oleh kaum buruh. Di
sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur maju takpungguh
hala (Kaum borjuis akan menurut bila mereka tahu akan memperoleh
kemenangan; itu pun di belakang sekali. Pun kalau mereka sungguh suka turut.
Lebih dari itu "tidak" dan jangan diharap). Revolusi Indonesia yang
memperoleh kemenangan akan mendatangkan perubahan yang tepat dalam
perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis menghadapi
krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka memegang peran yang
terpenting.
IX
PERKAKAS REVOLUSI KITA
Dengan pelbagai ragam suara,
dalam keadaan yang berbeda-beda dan oleh berbagai golongan rakyat, tujuan
politik kita sudah dinyatakan yaitu kemerdekaan nasional. Tentang tujuan akhir
ini, orang di seluruh Indonesia telah bulat sepakat. Hanya tentang jalan yang
akan ditempuh serta alat-alat yang akan dipakai, berlain-lainan pendapat orang.
Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak
sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa Indonesia berubah cepat cara
berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini biasanya tertinggal dari
perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai
dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno, masih tinggal di
zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan berbagai macam
takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat dan
lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran fantastis.
Kekalahan dalam persaingan ekonomi dengan kapital Barat yang lebih kuat itu
menyebabkan terbitnya pikiran tidak betul dan anarkistis (melanggar peraturan)
tidak melihat sesuatu dalam sifatnya yang sebenarnya. Ini terjadi terutama di
kalangan penduduk dusun-dusun kecil yang baru dikalahkan dan digencet dan
sebagian dari kaum buruh industri dan pertanian yang masih muda yakni mereka
yang baru dirampas miliknya.
Sebagaimana perbedaan
tingkat dalam industrialisasi demikian pulalah perbedaan pikiran penduduk di
berbagai daerah di Indonesia. Kita tunjukkan saja perbedaan kemajuan pikiran
antara penduduk Jawa dan saudara-saudara kita di Halmahera, atau antara
saudara-saudara yang ada di Surabaya dan Semarang yang telah sadar itu dengan
penduduk desa yang tidak berindustri. Di mana kapitalisme tumbuh, serta
beruratberakar, di sana mulai hiduplah rasionalisme dan pikiran yang sehat
serta lenyaplah dengan perlahan-lahan kepercayaan kepada segala takhayul. Jadi,
psikologi dan ideologi jiwa dan akal rakyat bangsa Indonesia sejalan dengan
kecerdasan kapitalisme yang senantiasa berubah-ubah. Yang lama lenyap dan yang
baru menjadi cerdas.
Sukar sekali membawa
sekalian perbedaan pikiran yang sedang dalam transformasi itu kepada satu
cita-cita yang sama membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat
sekali bagi kaum revolusioner akan membawa seluruh rakyat Indonesia kepada
garis-garis yang sesuai dan selaras dengan aksi-aksi marxistis. Ia mudah
tergelincir menjadi tindakan cari untung, anarki, dan mempercayai jimat-jimat.
Sampai waktu ini belum ada satu partai yang pandai menarik satu garis yang cocok
dengan keadaan-keadaan yang ada di Indonesia dan memimpin rakyat kita di
sepanjang garis itu. Beberapa partai berturut-turut tersesat di jalan yang
tidak membawa ke tujuan. Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni
meretas jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam Dewan
Rakyat dan meminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita namai
"percobaan untung-untungan" yang menyesatkan. Percobaan ini hanya
dapat dipikirkan secara teoretis dan praktis di dalam negeri jajahan yang
mempunyai borjuasi bumiputra. Kerja bersama yang jujur dengan golongan penjajah
Belanda di luar atau di dalam Dewan Rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat
Indonesia.
Tidak dimaksudkan bahwa kita
selamanya membelakangi Dewan Rakyat. Sebaliknya, bila besok atau lusa kita
mendapat kesempatan melalui jalan pemilihan yang langsung untuk menduduki Dewan
Rakyat, kewajiban kitalah memasukinya. Sungguh kita berbuat keliru dan penakut
bila tidak bertindak begitu. Tetapi, belum semenit juga kita bermaksud bekerja
bersama di dalam Dewan Rakyat dengan perampok gula, pencuri minyak dan penyamun
getah, kita terpaksa memasukinya, menentang, melakukan aksi oposisi dengan
penuh keberanian, dan memecahkan topeng mereka. Kita pergunakan Dewan Rakyat
sebagai "Pengadilan Rakyat" dan kita rintangi tindakan pemerintah
dari dalam. Dengan berbuat demikian, dapatlah kita sekadarnya mendidik rakyat
yang tak boleh menulis dan bicara politik di luar Dewan Rakyat itu.
Mempergunakan cara yang sangat
bertentangan dengan yang tersebut di atas, kita anggap suatu kebodohan pula
karena lebih banyak merugikan usaha kemerdekaan seperti yang dipikir-pikirkan
oleh kebanyakan bangsa kita. Selama seorang percaya bahwa kemerdekaan akan
tercapai dengan jalan "putch" atau anarkisme, hal itu hanyalah
impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat
merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak. "Putch"
itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak
berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat
rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan
kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari guanya tanpa
memperhitungkan lebih dulu apakah saat untuk aksi massa sudah matang atau
belum. Dia menyangka bahwa semua lamunannya tentang massa adalah benar
sepenuhnya. Dia lupa atau tak mau tahu bahwa massa hanya dengar berturut turut
dapat ditarik ke aksi politik yang keras (secara modern!) dan pada waktu
sengsara serta penuh reaksi yang membabi buta. "Tukang-tukang putch"
lupa bahwa pada saat revolusi ini kapan aksi massa berubah menjadi
pemberontakan bersenjata tak dapat ditentukan berbulan-bulan lebih dulu,
sebagaimana yang dapat dilakukan oleh seorang "tukang-tenung".
“Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai macam
keadaan". Bila tukang-tukang "putch" pada waktu yang telah
ditentukan oleh mereka sendiri, keluar tiba-tiba (seperti Herr Kapp tukang
"putch" yang termasyhur itu), massa tidak akan memberikan pertolongan
kepada mereka. Bukan karena massa bodoh atau tidak memperhatikan, melainkan
karena "massa hanya berjuang" untuk kebutuhan yang terdekat dan
sesuai dengan kepentingan ekonomi. Tiada satu kemenangan politik pun, hingga
sekarang, yang diperoleh massa (bukan oleh segerombolan militer!) jika tidak
dengan aksi ekonomi atau politik! Kerapkali pada awalnya orang melalui jalan
yang sah. Akan tetapi, karena tukang-tukang putch keluar dari jalan yang
sah, yaitu tiba-tiba memakai kekerasan senjata penggempur pemerintah maka 99
dari 100 kejadian, mereka ditinggalkan oleh massa sebab mereka dari mula sudah
memencilkan diri dari massa. Demikian juga, 99 dari 100 kejadian,
"komplot" putch dapat diketahui musuh.
Rancangan putch selamanya bocor
karena setengah anggotanya tidak sabar dan mereka ceramah atau karena
pengkhianatan anggota yang ketakutan. Atau gerakan mereka dapat dicium
mata-mata yang mondar-mandir di mana-mana.
Membuat putch di negeri, seperti
Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapinya dan
dilindungi oleh militer dan mata-mata ala Barat yang modern – sebaliknya,
rakyat masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul dan dongeng – samalah artinya
dengan "bermain api": tangan sendiri yang akan hangus. Kaum anarkis
yang biasanya berkata bahwa kekuasaan Barat yang kokoh ini dapat dirobohkan
dengan beberapa butir telur "yang meletup" tidak lebih cerdik
daripada seorang yang menembak batu dengan kepalanya.
Hanya "satu aksi massa", yakni
satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri
yang berindustri seperti Indonesia! Aksi-Massa tidak mengenal fantasi kosong
seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari
seorang pahlawan. Aksimassa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak
ekonomi dan politik mereka. Ia disebabkan oleh kemelaratan yang besar (krisis
ekonomi dan politik) dan siap, bilamana mungkin, berubah menjadi kekerasan.
Sebuah partai yang berdasarkan aksi massa yang tersusun pasti mampu membawa
aksi massa yang memecah pelabuhan yang tenang dan aman.
Sebagian dari aksi massa menunjukkan
dirinya dengan "pemogokan atau pemboikotan". Bila buruh yang
berjuta-juta meletakkan pekerjaannya dengan maksud tertentu (menuntut
keuntungan ekonomi dan politik) niscaya kerugian dan kekalutan ekonomi akibat
aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah yang keras itu.
Menurut kekuatan dan kemenangan kita
pada waktu itu, dapatlah kita memperoleh hak-hak politik dan ekonomi. Di India
pemboikotan itu ternyata adalah pisau bermata dua. Di satu pihak ia sangat
merugikan importir Inggris, di lain pihak ia memajukan perdagangan bumiputra.
Di Indonesia ketiadaan kapital besar bumiputra yang penting itu memberatkan
pemboikotan terhadap perdagangan asing.
Bukan saja kekuasaan besar itu
disebabkan oleh ikhtiar mengumpulkan kapital yang diperlukan, tapi juga
meneruskan pemboikotan itu. Kita mudah memperkirakan bahwa pemboikotan nasional
Indonesia yang hebat dan keras sangat dibenci dan dimusuhi oleh imperialis
Belanda yang buas, seperti dia membenci pemogokan umum. Akan tetapi,
pemboikotan di Indonesia bukanlah pekerjaan mustahil. Di Pulau Jawa dan di
luarnya bukankah banyak kapital bumiputra kecilkecil yang kalau dikumpulkan ke
dalam koperasi nasional dapat melahirkan kapital yang sangat besar. Tapi
ikhtiar yang serupa itu terlalu banyak meminta kesadaran, keaktifan dari
seluruh lapisan penduduk Indonesia. Pemboikotan pajak yang dianggap menjadi
aksi itu di India tidak pernah dilakukan karena kekuatiran borjuasi terhadap
akibat revolusioner.
Di Indonesia pemboikotan pajak adalah
sebuah senjata ekonomi politik yang sangat sakti.
Tetapi, perbuatan seperti itu berarti
"melanggar undang-undang" dan hanya terjadi dalam keadaan-keadaan
revolusioner di bawah pimpinan satu partai revolusioner yang kuat betul. Bagian
politik dari aksi massa menunjukkan diri dengan demonstrasi dan di India dengan
keengganan kerja bersama mengandung maksud politik dan ekonomi, menagih
pemerintahan sendiri (home rule) dari imperialisme Inggris. Bagian
politiknya berupa tindakan meninggalkan hal hal sebagai berikut:
1. badan-badan pemerintahan;
2. pengadilan pemerintahan;
3. sekolah-sekolah pemerintahan; dan
4. polisi dan tentara.
Tindakan yang keempat, karena takut
kepada pemberontakan, tidak pernah dijalankan. Yang pertama sampai yang ketiga tidak
cukup lama dilakukan dan tak cukup memberi hasil. Apakah di Indonesia dapat
lebih lama dijalankan dan lebih berhasil daripada di India? Pertanyaan ini akan
kita jawab kelak dalam satu pembicaraan yang khusus. Demonstrasi politik
ditunjukkan dengan massa yang berbaris di sepanjang jalan raya dan di gedung
rapat, dengan maksud mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan
ekonomi dan menunjukkan kepada musuh berapa besarnya kekuatan kita. "Bila
semboyan dan tuntutan" sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik
dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga
meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa.
Di negeri yang berindustri seperti
Indonesia, "aksi-massa", yakni boikot, mogok dan demonstrasi, boleh
dipergunakan lebih sempurna sebagai senjata yang lebih tajam (di India tidak
terjadi sebab bumiputra yang berkapital takut pada pemogokan umum dan kekuasaan
politik dari kaum buruh, ketakutan yang tak berbeda dengan borjuasi Inggris!). Bila
sebuah partai revolusioner berhasil mengerahkan kaum buruh yang berjuta-juta
agar meninggalkan pekerjaannya dan yang bukan buruh agar tak mau bekerja sama
serta seluruh rakyat berdemonstrasi untuk menuntut hak ekonomi dan politik
tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah, niscaya akibat
politik moral dari aksi itu sangat besar artinya. Ia akan mendatangkan
keuntungan dalam perjuangan politik dan ekonomi lebih besar daripada seratus
Pemberontakan Jambi atau huru-hara, pembunuhan yang aneh-aneh dan dikerjakan
oleh anggota-anggota "bagian B" dan tukang-tukang putch yang
gagah. Kita tidak boleh melupakan bahwa aksi yang akan kita lakukan itu
sekarang dilarang oleh undang-undang tetapi, tidak ada alasan bagi kita untuk
meninggalkan jalan satu-satunya itu.
Tambahan pula, menjadi pertanyaan besar,
apakah pemerintah dapat mempertahankan larangan itu, sekurang-kurangnya jika
tidak lekas patah arang oleh kekalahan kecil seperti yang sudah-sudah. Hak-hak
manusia yang asli seperti mogok (menolak penjualan tenaga sendiri), boikot
(menolak kerja bersama, membeli atau menjual barang-barang) dan hak
berdemonstrasi (mengumumkan cita-cita) akan lenyap selama-lamanya dari bangsa
Indonesia kalau di belakang tiap-tiap orang Indonesia berdiri seorang serdadu
imperialis yang bersenjata.
Kelebihan aksi massa daripada putch,
ialah bahwa dengan aksi massa perjuangan kita dapat dijaga, sedangkan dengan putch,
kita memperlihatkan iri kepada musuh. Di dalam aksi massa, pemimpin boleh
berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang perlu di waktu ini. Ia selamanya
dapat menentukan berapa jauh ia boleh mengadakan tuntutan politik dan ekonomi
tanpa tidak menanggung kerugian besar (pengorbanan mesti ada dalam tiap-tiap
aksi massa). Dan ia tidak kehilangan hubungan dengan massa. Demikian pun,
hubungan antara massa itu sendiri tidak putus. Dengan serangan
sekonyong-konyong, yaitu tindakan keras tukang-tukangputch yang
disengaja terhadap musuh, mereka dari awalnya gampang diserang musuh. Pemimpin
aksi massa dengan memegang "peta perjuangan" di tangannya dapat
mempermainkan musuh dengan jalan maju selangkah-selangkah dan kemudian sekali
menggempur habis-habisan. Aksi massa membutuhkan pemimpin yang revolusioner,
cerdas, tangkas, sabar dan cepat menghitung kejadian yang akan datang, waspada
politik. Ia harus juga bekerja dengan kekuatan nasional yang sudah ada dan
tidak mengharapkan kekuatan yang sekadar lamunan. Selanjutnya, ia harus
mengetahui tabiat massa yang dipimpinnya (mengetahui waktu dan cara bagaimana
reaksi rakyat terhadap kejadian-kejadian politik dan ekonomi). Ia harus pandai
pula bersemboyan yang menyemangatkan rakyat sehingga mengubah "kemauan
massa" menjadi "tindakan massa". Selain itu, kedudukan politik
dan ekonomi mesti diketahuinya betul-betul dan ia harus pula pandai
mempergunakannya tanpa ragu-ragu. Disebabkan kelas yang berkuasa (pemerintah)
mempunyai laskar yang lengkap dan senantiasa siap siaga maka kecakapan dan
ketangkasan pemimpin gerakan modern aksi massa mesti mempunyai pengetahuan yang
praktis tentang politik dan ekonomi dari negeri serta psikologi rakyat dan
kemudian pandai memperhitungkan kejadian kejadian politik yang akan terjadi.
Terlebih lagi, pemimpin itu harus dapat mempergunakan "waktu" dengan
cepat dan benar, juga mempergunakan sekalian pertentangan di dalam masyarakat
kapitalistis (juga di dalam laskar) yang dapat mendatangkan keuntungan.
Jadi, kalau "tenaga bodoh"
(seperti di zaman feodal) dapat mengadakan putch, seorang pemimpin
pergerakan massa yang modern haruslah seorang manusia cerdas dan bijaksana.
1. Partai dan Sifat-Sifatnya
Apakah yang dinamakan partai? Jika kita
mau mengumpulkan dan memusatkan kekuatan-kekuatan revolusioner di Indonesia
dengan jalan aksi massa yang terencana buat meretas jalan kemerdekaan nasional,
tentulah kita mesti mempunyai satu partai yang revolusioner. Adapun, hingga
kini Indonesia belum mempunyai partai revolusioner, yang ada hanya
perhimpunan-perhimpunan dari orang-orang yang "berlain-lainan"
pandangan dan tindakan politiknya. Satu partai revolusioner ialah gabungan
orang-orang yang sama pandangan dan tindakannya dalam revolusi. Dan
sebaik-baiknya perbuatan revolusioner adalah tiap-tiap anggota bersama, satu
dengan lainnya, dipusatkan. Untuk menghilangkan suatu perasaan yang kurang baik
dari tiap-tiap anggota partai, mestilah tiap-tiap orang diberi hak bersuara,
mengemukakan dan mempertahankan keyakinannya dengan seluas-luasnya. Dan sesuatu
keputusan partai mestilah dianggap sebagai hasil permusyawarahan dan
pertimbangan bersama-sama yang matang dari seluruh anggota. Tiap-tiap
permusyawarahan hendaknya dijalankan
dengan secara demokratis yang
sesungguhnya. Tiap-tiap tanda yang berbau birokrasi dan aristokrasi mesti
dicabut hingga ke akar-akarnya. Tetapi, birokrasi dan otokratisme dalam partai
tak dapat dihapuskan dengan "maki-makian" atau dengan menggebrak meja
tetapi dengan membiasakan bertukar pikiran secara merdeka dan kerja sama dari
semua anggota. Tiap-tiap keputusan partai mesti diambil menurut suara yang
terbanyak. Jika satu keputusan sudah
diterima oleh suara yang terbanyak, mestilah suara yang terkecil, meskipun
bertentangan dengan keyakinannya, " tunduk" kepada putusan dan dengan
jujur menjalankan keputusan itu. Jika tidak begitu, niscaya tak akan pernah
sebuah partai mencapai tenaga yang revolusioner. Keputusan yang "setengah
betul" tetapi dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan lebih baik
daripada keputusan yang " bagus sekali" tetapi dikhianati oleh
setengah anggota.
Partai mesti mempunyai "peraturan
besi". Selanjutnya, barulah ia mampu memusatkan tindakan partai. Partai
mesti mempunyai alat-alat revolusioner untuk memeriksa dan memperbaiki segenap
perbuatan anggota. Belumlah mencukupi bila seorang "mengakui setuju"
dengan suatu keputusan atau peraturan partai. Ia mesti membuktikan dengan
perbuatan bahwa ia menjalankan keputusan itu dengan betul dan setia terhadap
partai. Perbuatan itu biasanya adalah, misalnya, mencari kawan dalam
surat-surat kabar partai, kursus, serikat sekerja dan mengerjakan administrasi
dan organisasi partai. Jika ia tak memenuhi hal-hal tersebut atau
"terbukti", bahwa ia tidak setia kepada partai, mestilah dijalankan
pendisiplinan. Lebih baik ia keluar dari partai daripada ia merusak partai atau
memberikan teladan busuk sebagai seorang revolusioner pemalas kepada
anggota-anggota yang lain.
2. Program Nasional Kita
Tujuan politik, ekonomi dan sosial yang
revolusioner dari satu partai untuk negeri tertentu dan jalan yang akan
dituntut bersama, diterangkan dengan "program nasional" yang
revolusioner. Program itu ialah penunjuk jalan bagi partai dan harus diakui,
dipahamkan, dipertahankan dan dikembangkan oleh tiap-tiap anggota. Perihal
program nasional kita dan sifat-sifatnya yang umum sudah cukup jelas saya
uraikan di dalam brosur Naar de republik Indonesia dan Semangat Muda(yang
masing-masing dikeluarkan bulan April 1925 dan Januari 1926). Di sini masalah
itu tidak akan diuraikan lagi dan silakan pembaca membaca buku-buku kecil
tersebut. Tetapi, demi memudahkan pembaca, saya lampirkan juga program nasional
itu (tidak dengan keterangan) di belakang buku ini.
3. Tugas dan Organisasi Partai
Partai itu menjalankan tujuan dan
pelopor (avantgarde) pergerakan di segala tingkatan revolusi.
Pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan,
karena itu, ia menjadi "kepala dan jantung" massa yang revolusioner.
Di dalam "revolusi borjuasi" Prancis (1789), avantgarde terdiri
dari borjuasi yang revolusioner dan kaum buruh terpelajar yang borjuis.
Merekalah yang mengepalai dan memikirkan
revolusi itu, sedangkan kaum buruh industri yang masih lemah dipergunakan
sebagai "tenaga budak", sebagai kuda-kuda. Kejadian seperti ini
mungkin juga terjadi di negeri jajahan yang borjuasi bumiputranya kuat tapi
tidak diberi kekuasaan politik oleh si penjajah sehingga mereka terpaksa
menjadi revolusioner. Di Mesir dan India, pengemudi gerakan kemerdekaan sampai
sekarang boleh dikatakan di tangan kaum intelektual yang borjuis.
Adapun yang berjuang di negeri-negeri
kolonial itu terutama sekali kaum buruh dan tani revolusioner. Di Indonesia
borjuasi bumiputra tak dapat memimpin, moril dan materiel. Karena kondisi
sosial dan ekonomi terlalu lemah, kaum buruh mesti mendirikan cita-cita dan
menyusun laskarnya sendiri. Jika kaum borjuis, besar atau kecil, di Indonesia mau
memasuki massa, mereka jangan berjuang dengan kapital nasional dan
parlementarisme tapi mereka mesti berdiri di atas asas-asas buruh,
nasionalisasi dan pemerintahan buruh dan tani. Mereka mesti_ menjadi kaum buruh
terpelajar dan berjuang dengan kaum buruh untuk cita-cita buruh dan dengan
logika.
Jika kaum terpelajar borjuis mau diakui
oleh massa sebagai teman, mereka mestilah berbuat lebih dari kawan-kawannya
segolongan yang ada di Mesir, India dan Tiongkok. Sebagai kelas, tentulah
mereka tak dapat berbuat begitu sebab dirintangi oleh keturunan, pendidikan dan
lingkungan mereka sendiri.
Kelas buruh di Indonesia tak bisa
mengharapkan sekalian buruh terpelajar pada borjuis kita, besok atau lusa, akan
menerjunkan diri ke dalam massa yang sedang berjuang itu. Tetapi beberapa orang
dari mereka (tidak sebagai kelas) "boleh jadi" masuk ke dalam barisan
baru sebagai laskar sukarela. Kaum terpelajar borjuis yang revolusioner jika
dengan mentah-mentah dimasukkan dalam partai buruh yang revolusioner, itu
berarti memborjuiskan kaum buruh kita. Di Indonesia, terutama, hal itu sama
artinya dengan "mengebiri", merampas perasaan revolusioner dan
cita-cita yang lanjut dari kaum buruh. Tak kan mungkin keluar tenaga dari kaum
buruh yang seperti itu. Partai seperti itu, "bukan ikan dan bukan
daging", bukan borjuis revolusioner proletar. Malahan jika borjuasi
Indonesia lebih kuat dan lebih revolusioner dari sekarang ini, ia tak kan mau
dan sanggup berjalan lebih jauh dari "kemerdekaan politik", yakni
merampas kekuasaan politik dari imperialisme Belanda.
Pemecahan-pemecahan masalah ekonomi dan
politik yang radikal (dimisalkan ada borjuasi Indonesia yang revolusioner dan
kuat) hanya dapat dijalankan dengan merugikan kapital bumiputra itu sendiri.
Terhadap pemecahan itu, borjuasi yang dimisalkan itu niscaya tidak
menyetujuinya . Di tiap-tiap negeri yang terjajah, borjuasi bumiputra yang
revolusioner (terhadap imperialisme) itu dengan segera berubah menjadi
reaksioner buruh pada saat imperialisme dirobohkan. Tujuan akhir dari tiap-tiap
borjuasi bumiputra yang revolusioner adalah "politik" semata-mata. Di
India, Tiongkok, Mesir dan Filipina hal itu sudah berbukti. Begitu pulalah
segerombolan kaum borjuis kecil Indonesia. Di dalam perjuangan politik mereka
terhadap imperialisme Belanda, tersembunyi cita-cita kepada harta dan kekuasan
yang lebih besar. Mereka ingin menjadi tuan-tuan tanah, saudagar kaya raya,
bankir dan juga ingin menjadi gubernur, menteri dan lain-lain. Pendeknya mereka
ingin menjadi borjuis besar, seperti di lain-lain negeri. Nisbah antara kapital
dan tenaga, antara kapitalis dan buruh serta sistem politik, ketiga-tiganya
mereka kehendaki supaya tetap kapitalistis. Dengan menggulingkan imperialisme
Belanda, kaum borjuis kecil Indonesia ingin kelak dapat menjalankan sekalian
kekuasaan politik dan ekonomi terhadap kaum buruh.
Tujuan buruh melewati batas
"anti-imperialisme". Mereka berniat, terang atau kabur, merobohkan
kaum kapitalis sama sekali. Kaum buruh Indonesia menghendaki pemecahan yang
radikal di dalam perekonomian, sosial, politik dan ideologi, sekarang atau
nanti. Bila sekiranya kelak sesudah imperialis Belanda ditentang dan
dimusnahkan hingga ke akar-akarnya, meskipun tak mungkin dalam arti kemenangan
nasional sematamata, niscaya kaum buruh akan dan mesti memperkuat barisannya
melawan borjuasi. Jadi, borjuasi Indonesia yang kecil, apalagi yang besar hanya
anti-imperialisme saja, sedangkan kaum buruh anti kedua-duanya: imperialism dan
kapitalisme. Jadi, buruh Indonesia jika dibandingkan dengan borjuasi revolusioner
menghadapi perjalanan yang jauh lebih panjang sebelum sampai kemerdekaan
sejati. Jadi, semestinyalah mereka lebih giat dan radikal dalam perjuangan dan
sekarang pun sudah begitu, seperti di negeri lainlain. "Soal
organisasi" berhubungan rapat sekali dengan cita-cita sosial, ekonomi dan
politik, serta tingkatan revolusioner dari kelas-kelas yang revolusioner.
Menurut cita-cita dan "liatnya" sekalian kelas yang revolusioner,
bolehlah kita bagi laskar nasional kita dalam: (1) barisan pelopor, yaitu
terdiri dari kaum buruh industri yang seinsaf-insafnya dan kaum buruh
terpelajar; (2) cadangan yaitu terdiri dari kaum buruh yang kurang insaf
dan bukan kaum buruh yang revolusioner yang di masa revolusi berjuang di bawah
pimpinan dan berdiri di sisi barisan pelopor. Seringkali hubungan itu
ditimbulkan oleh pemusatan kerja. Pekerjaan partai sehari-hari ialah merapatkan
anggota dengan anggota, partai dengan organisasi "sepupunya",
mengurus pembacaan anggota partai, antara partai dan rakyat seluruhnya. Kadang-kadang
hubungan itu didatangkan pula oleh agitasi yang cocok dan benar. Agitasi itu
mesti didasarkan kepada kehidupan massa yang sebenarnya. Tak cukup dengan
meneriakkan kemerdekaan saja. Kita harus menunjukkan kemerdekaan dengan alasan
yang sebenarnya. Kita harus menerangkan semua penderitaan rakyat sehari-hari
seperti gaji, pajak, kerja berat, kediaman bobrok, perlakuan orang atas yang
menghina dan kejam. Seorang agitator yang cakap setiap waktu harus siap sedia
memecahkan sekalian soal yang bersangkutan dengan kehidupan materiel Pak Kromo
dengan benar dan revolusioner. Ia juga harus senantiasa bersedia menarik dan
memimpin Pak Kromo-Pak Kromo itu kepada aksi politik dan ekonomi yang
memperbaiki kebutuhan materiel mereka.
Tak boleh kita harapkan bahwa massa akan
masuk ke dalam perjuangan karena didorong cita-cita saja! Massa (di Timur atau
di Barat) hanya berjuang karena kebutuhan materiel yang terpenting. Dengan
perjuangan ekonomi, seperti pemogokan
atau pemboikotan serta ditunjang oleh
demonstrasi politik, kita akan dibawa kepada tujuan yang penghabisan! Segala
agitasi mestilah cocok dengan keadaan tiap-tiap daerah. Penerangan terhadap
seorang buruh industri tak boleh disamakan dengan seorang tani sebab keduanya
mempunyai kebutuhan materiel yang lain-lain. Seorang tani di Jawa pun tak boleh
disamakan dengan seorang tani di Sumatera sebab keduanya mempunyai soal-soal
tanah dan ekonomi yang berlainan.
Jika agitasi itu benar nyata dan
mengenal segala kebutuhan rakyat yang tergencet pada tiap-tiap daerah di Indonesia,
bilamana program tuntutan dan semboyan-semboyan kita "sungguh"
dipahamkan dan dirasai oleh seluruh lapisan penduduk, jika pemimpin partai
liat, tangkas dan cerdas mempergunakan sekalian pertentangan yang
ada di dalam masyarakat Indonesia, niscaya hubungan yang perlu
"dengan" — pengaruh yang diinginkan "atas" dan akhirnya
kepercayaan yang dibutuhkan " dari" — massa dapat diperoleh partai.
Pasal ini sudah lebih panjang daripada maksud kita yang semula, apalagi bila
ditambah pula dengan pembicaraan perihal "teknik" aksi massa. Pun hal
ini mestilah kita serahkan kepada pembicaraan yang praktis karena kita tidak
"menelanjangi" diri di hadapan musuh dengan membukakan rahasia pun
teknik perjuangan kita. Tetapi, di sini mesti kita peringatkan bahwa soal
"persenjataan" — meskipun hal itu penting sekali serta sangat kuat menarik perhatian
kaum revolusioner! — bagi kita bukanlah soal hidup mati. Ia tunduk kepada soal
politik dan organisasi yang revolusioner. Dengan kata lain bahwa massa yang
gembira dalam pimpinan partai revolusioner yang berdisiplin baja, berkelahi
dengan tangan serta suara nyanyian yang revolusioner, akan merobohkan laskar
imperialis sampai ke urat akarnya. Sebagai penutup pasal ini, boleh kita
tambahkan bahwa bagi kemenangan revolusioner, perlu dua faktor berikut ini.
1. Faktor "objektif", yaitu
sebuah tingkatan dari tangan produksi dan kemelaratan massa. Tingkatan itu
terutama di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera dalam pandangan kita
dianggap cukup.
2. Faktor "subjektif", yaitu
kesediaan bangsa Indonesia yang mesti diwujudkan dalam suatu partai
revolusioner yang "sempurna" (teratur dan matang betul) dan
keadaan-keadaan revolusioner yang baik.
Untuk mencapainya, partai mesti
mempunyai disiplin; massa yang tidak senang itu harus di bawah pemimpinnya.
Kemudian dipecah-belah musuh-musuh dalam dan luar negeri. Lihat seterusnya Menuju
Republik Indonesia pasal "pukulan strategis". Andaipun partai
yang revolusioner tidak dapat diperoleh dengan pembicaraan-pembicaraan akademis
di dalam partai ataupun tak ada kesempatan bagi bangsa kita yang sengsara dan
dihina-hinakan, senantiasa kita dapat mendorong partai itu ke dalam perjuangan
ekonomi dan politik yang besar ataupun yang menciptakan "disiplin"
yang diinginkan yang memberi pengaruh yang tak dapat ditinggalkan atas massa
dan kepercayaan yang dibutuhkan dari massa serta, selain itu keliatan,
kecerdasan dalam perjuangan. Itulah syarat-syarat yang akan membawa kita pada
kemenangan.
Barisan penduduk yang terdiri dari kelas
menengah dan borjuasi yang lemah hanya akan turut berjuang bila terpaksa. Akan
terlampau panjang bila diperbincangkan di sini dengan panjang lebar perihal
satu-dua partai. Maksud kita dengan itu ialah apakah kaum buruh dan kaum
borjuis yang kecil-kecil mesti dihimpunkan dalam "satu" organisasi
nasional dengan "satu" pusat pemimpin atau dipecah dalam
"dua" organisasi dengan dua
pemimpin tetapi bekerja bersama-sama (Pada waktu ini kaum buruh — sebab sistem
yang pasti belum dipakai —
boleh dikatakan belum tersusun dalam
Partai Komunis Indonesia (P.K.I.) dan bukan-buruh dalam serikat rakyat.
Keduanya mempunyai satu pengurus besar.). Bagaimanapun wujud organisasi itu di
dalam satu koloni seperti Indonesia, kaum buruhlah yang paling aktif dan
radikal. Organisasi tidak boleh
menghalang-halangi keaktifan itu. Sebaliknya, ia mesti tahu mempergunakannya
dan dapat menghidup-hidupkannya. Organisasi itu semestinya menjadi gabungan dan
pemusatan segala keaktifan kaum buruh.
Semestinya diikhtiarkan supaya kaum
buruh sebanyak-banyaknya duduk di dalam partai dan memegang pimpinan. Partai
revolusioner kita akan berkembang hidup sebesar-besarnya dan sesehat-sehatnya
bilamana benih-benih partai ditanam pada tiap-tiap pusat industri. Demikianlah
jadinya, kedudukan P.K.I. terbatas di dalam kota-kota, pusat-pusat ekonomi,
pengangkutan; dan Serikat Rakyat (S.R.) harus menjadi partai yang bukan buruh.
Selain di kota-kota, di desa-desa pun mestinya didirikan. Dengan jalan seperti
itu, dimasukkanlah api revolusioner ke dalam P.K.I. dan S.R., kaum buruh yang
setengah insaf dan belum insaf sama sekali tak boleh tinggal di luar
organisasi. Mereka mesti diajak masuk ke dalam perjuangan ekonomi yang setiap
waktu berubah menjadi perjuangan; mereka dihimpun dalam serikat-serikat kerja
sebagai barisan cadangan yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I. Kaum
bukan-buruh yang setengah insaf dan yang belum insaf sama sekali dalam politik
dan ekonomi, juga tergencet mesti dihimpun ke dalam koperasi rakyat yang juga
merupakan barisan pembantu yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I. dan
S.R. Demikianlah, P.K.I. mesti mempunyai beberapa organisasi serikat kerja,
koperasi dan serikat rakyat yang tiap-tiap beraksi-massa langsung berada di
bawah pimpinan P.K.I. Organisasi itu — yang semangatnya dipengaruhi surat-surat
kabar partai dan serikat kerja — merupakan lascar revolusi nasional dalam
perjuangan menentang imperialisme dan kapitalisme Barat.[1] Jika satu partai
revolusioner benar-benar ingin menjadi pemimpin massa di Indonesia, terlebih
dulu partai itu sendiri harus dipimpin sebaikbaiknya. Organisasi partai ialah
kesimpulan dari beberapa susunan partai. Dengan kata lain, menjadi "tali
nyawa" dari partai, menjadi yang "terpenting", misalnya seperti
penyusunan, pelatihan, pendidikan bagi pemimpin dan anggota-anggotanya. Tambahan
pula, partai mesti berhubungan rapat dengan massa, terutama pada saat yang
penting, dengan segala golongan rakyat dari seluruh Kepulauan Indonesia. Dengan
tidak berhubungan seperti itu, tak kan ada pimpinan yang revolusioner.
[1] Seorang anggota P.K.I. sedapat
mungkin adalah seorang buruh atau buruh terpelajar (bukan borjuis). Ia harus
mengetahui dan pandai menerangkan komunisme dalam teori dan praktik, taktik
nasional dan internasional. Di atas segalanya, ia harus lebih banyak dan lebih
canggih untuk melakukan pekerjaan revolusioner, yaitu pekerjaan menyusun dan
menggalang pertemanan. Seorang anggota S.R. biasanya adalah bukan buruh, tani,
saudagar atau pelajar (mahasiswa). Ia tak usah melakukan pekerjaan revolusioner
sebanyak yang dikerjakan anggota P.K.I cukuplah jika ideologinya
anti-imperialis dan menghendaki kemerdekaan nasional. Bila dipakai sistem satu
partai, kaum buruh dan bukan buruh dihimpun dalam sebuah organisasi yang
revolusioner. Dalam partai itu, golongan yang lebih "sadar" dan buruh
terpelajar merupakan sayap kiri. Sayap kiri
SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN
DI INDONESIA
1. Kegagalan Partai Borjuis
Sesungguhnya bukan kualitas
pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuis Indonesia
"beriring-iringan patah di tengah". Para penganjur, seperti Dr. A.
Rivai dan Dr. Tjipto, niscaya akan memegang peranan yang jauh berlainan sekali
di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia jika di sini ada kapital besar milik
bumiputra. Lambat laun, dengan sendirinya, mereka akan sampai pada program
nasional borjuis
yang dengan perantaraan satu
organisasi dan taktik yang cocok, sebagian atau seluruhnya, dapat diwujudkan.
Karena kapital besar
bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai
borjuis tak tahan hidup. Mereka dibesarkan oleh pendidikan borjuis secara Barat
sehingga tidak tercerabut massa Indonesia dan tidak berperasaan akan mencari
logika untuk mendapat program nasional yang proletaris. Partai borjuis yang
didirikan dengan perlahan-lahan, lenyap sama sekali, "hidup enggan mati
tak mau" atau tinggal namanya saja yang hidup.
a. Budi Utomo
Budi Utomo — didirikan pada
tahun 1908 — adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap
partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia merana
sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis
yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat maka dari dulu
sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil manggil
arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan
yang merana, semua basil "kebudayaan perbudakan" ditambah dan
digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Di dalam "lingkungan
sendin" kerapkali dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk — Raja
Hindu atau setengah Hindu itu — dengan laskarnya yang kuat berbaris di muka
mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya dibicarakan soal-soal
yang tak berbahaya. Di dalam Kongres Budi Utomo berkali-kali (sampai
menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa (?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu
mengenai kehidupan rakyat di Jawa — jangan dikata lagi di seluruh Indonesia —
tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan mereka. Belum pernah, barangkali,
diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman
Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak memandang bulu.
Panjangnya umur Budi Utomo
sebagian besar diperolehnya
dari "mantera-mantera" pemimpinnya, dari hasil "main mata"
dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya. Sebuah
semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima oleh pemerintah seperti
Belanda. Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita "kebangsaan
Indonesia". Fantasi "Jawa-Raya", yakni bayangan penjajahan Hindu
atau setengah Hindu terhadap bangsa Indonesia sejati, langsung atau tidak,
menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon
Raya dan lain-lain.
Budi Utomo yang mengangkat
kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu,
sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan itu
menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan
kerja sama antara penduduk di seluruh Indonesia (bukan antara penjajah satu
terhadap Iainnya). Dengan jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke
daerah yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat
dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan seperti ini, keinginan
"luhur" yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat
memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.
b. National Indische Party
Dengan pikiran pincang dan
ragu-ragu tidak dapat juga N.I.P. yang didirikan pada tahun 1912
"mencium" kebangsaan Indonesia. Pohonpohonan yang terapung-apung —
indo-indo Eropa itu — berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang
imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan
Indonesia. Yang terutama tidak mempunyai cita-cita nasional yaitu borjuasi
Indonesia; masa bercerai-berai. Karena itulah, satu
program nasional yang konstruktif dan konsekuen tak dapat diwujudkannya. Rumpun
"Indonesisme" ala Douwes Dekker ialah cita-cita dari Belanda Indo yang tidak kurang imperialisisnya
daripada Belanda totok, mereka merasa dikesampingkan oleh yang tersebut belakangan
dan itulah semangat yang dikembangkannya.
Mereka meminta "persamaan" dengan totok dan kadang-kadang
dibisikkannya perkataan kemerdekaan. Maksud
mereka yang sesungguhnya mau membagi kekuasaan, satu orang separo diantara
mereka berdua. Karena si totok kerapkali terlalu banyak
mengambil bagian untuknya sendiri, si Indo mengancam "bekerja sama dengan
Inlander". Cap yang lebih dalam tak dapat kita tempelkan
kepada kebangsaan Belanda Indo itu. Mereka tidak berbeda coraknya dengan bangsa
Hindu dan Muslim di zaman perang saudara dulu. Tatkala Si Jenaka Van Limburg Stirum "pelayan
liberal dari kapital besar" memberikan pekerjaan yang menguntungkan
Teeuwen dan Co waktu itu, program N.I.P.
mencapai tujuannya tanpa menumpahkan darah.
Douwes Dekker berjalan terus; untuk
mencapai itu, dia menganggap perlu memakai kekuatan bumiputra. Dengan
perkataannya yang kabur tentang hak dan kemerdekaan, tertariklah Dr. Tjipto,
Soewardi dan Co ke dalam N.I.P. Kejadian ini memberi jiwa kepada pohon
kebangsaan Indonesia yang tidak dikenal di seluruh pergerakan Indonesia. Satu
cita-cita modern tentang kebangsaan yang jauh lebih sehat dan lebih luas
daripada fantasi Jawa Raya (cita-cita penjajahan Hindu dan kasta-kasta) boleh
dikatakan lahir di seluruh Kepulauan Indonesia. Tetapi, sesudah Dr. Tjipto,
Soewardi dan Co duduk di dalam N.I.P., orang betul-betul memperhatikannya; di
sana dapat dilihat satu pertentangan antara anggota-anggota perkumpulan itu. Di
satu pihak berdiri Indo- Borjuis yang dididik secara imperialistis, sombong dan
penuh curiga, di pihak lain berdiri bumiputra yang ekonomi dan politiknya
tergencet, diperas dan diinjak-injak. Sebuah asimilasi baik sosial ataupun
ideologi belum pernah tercapai. Seorang anggota N.I.P. merasa sangat senang mendapat
pembagian kerja 50 banding 50 dengan si totok yang sangat dibenci itu. Pengangkatan
Teeuwen menjadi aggota Dewan Rakyat, kemudian menjadi pegawai tinggi,
sesungguhnya menjadi obat yang mujarab buat penyakit politik N.I.P.
Jangankan aksi revolusioner, mogok saja
jauh dari keinginan Indo anggota N.I.P. Apalagi revolusi meminta hubungan yang
rapat serta asimilasi sejati dengan bangsa Indonesia, bukan dengan
priyayi-priyayi yang bersih saja, melainkan juga dengan Pak Kromo. Dan yang
lebih utama, pembagian kekuasaan politik dengan si Inlanders yang terbesar
jumlahnya. Dan pemogokan yang mungkin berubah menjadi revolusi meski sekecil
apa pun, tentulah takkan pernah cekcok dengan kepentingan dan ideologi tuan
tanah dan pegawai-pegawai Belanda-Indo. Selama perkataan "hak dan
kemerdekaan" tetap tinggal gelap, selama itulah Belanda-Indo dapat
bergandengan tangan dengan priyayi-priyayi Jawa. Tetapi, pertentangan kelas
yang beberapa tahun belakangan ini terbukti dalam pemogokan maka keluarlah
nasionalis-imperialis
(nasionalis menurut sebutan dan
imperialis menurut perbuatan) dari "nasional" Indische Party.
Apa yang diidamkan oleh Indo anggota
N.I.P. sekarang dibukakan oleh I.E.V.: hak tanah dan fasisme. Anggota N.I.P.
bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda Indo. Akan tetapi, mereka terkungkung
dalam "kebangsaan Douwes Dekker" (satu teori yang menggembirakan
perihal "darah Timur dan perasaan Timur") yang bagian ekonominya
ditutup dengan wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P. mempunyai
seorang pemimpin yang sanggup mempertalikan kebangsaan Indonesia dengan program
proletaris dan sanggup menarik kaum buruh ke dalam partai itu, niscaya N.I.P.,
meskipun ditinggalkan oleh Belanda-Indo yang fasistis itu, dapatlah hidup terus
dan boleh jadi lebih kuat dari yang sudah-sudah.
Tetapi sekali lagi, sebab tak ada
borjuasi bumiputra yang modern maka semangat yang begitu sehat dan revolusioner
seperti Dr. Tjipto tak mendapat tempat dalam pergerakan revolusioner yang
borjuis. Sebaliknya, daripada mendekati massa berulang-ulang, mereka lebih suka
merintang-rintang waktu dengan kerja yang tak layak baginya, yaitu
memanggil-manggil arwah kebesaran (Hindu dan Islam) yang telah meninggal dunia.
Satu nasionalistis "maya" yang sejati.
c. Sarekat Islam (S.I.)
Sarekat Islam pada tahun 1913 tampil ke
muka disertai suaranya yang gemuruh. Perhimpunan ini adalah penyambung aksi
massa Timur setengah feodal yang sudah berabad-abad mengalami penindasan.
Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang teratur, tetapi manifestasi dari
perasaan massa yang kurang senang di bawah pimpinan saudagar-saudagar kecil.
Dengan melibat-libatkan agama,
dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada
permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa.
Di dalam perjuangan ekonomi antara
saudagar bumiputra dan Tionghoa tampak betul kelemahan yang disebut duluan.
Kecurangan pemimpin S.I. menyebabkan dan menimbulkan datangnya kekalahan
ekonomi. Dengan berhentinya gerakan, terhenti pulalah kegiatan
saudagar-saudagar kecil di dalam S.I. Jika kita mau menamakan paham campur aduk
antara Islam, kebangsaan reformisme dan demagogi dari pemimpin-pemimpin S.I.
itu "politik", maka sekarang kita pandang S.I. sudah menginjak
tingkatan "politik". Pada tingkatan politik ini, berkat pengaruh kaum
revolusioner di Semarang, dapatlah mereka mengadakan aksi-aksi ekonomi
pemogokan "liar".
Massa yang kurang senang yang bersatu
dalam S.I. tak dapat menjadi sendi aksi massa yang teratur. Untuk itu, pemimpin
S.I. tak mempunyai pengetahuan sedikit pun perihal pertentangan kelas, taktik
revolusioner dan kepemimpinan. Tambahan pula program revolusioner yang
konstruktif dan konsekuen, kecakapan organisatoris dan kejujuran administrasi
tak ada. Pergerakan S.I. yang permulaannya demikian hebat dan menarik perhatian
umum — hingga kerapkali disamakan dengan gerakan Charterisme — tampaknya menang
hanya karena beroleh adat menjongkok-jongkok.
Disebabkan kebimbangan dan kelemahan
aksi S.I. itu, pergilah mereka yang kecewa dan yang lebih radikal-islamistis
borjuis mengambil jalan yang salah. Segala alat-alat feodal seperti mistik,
jimat-jimat dan mantera yang sudah lama terkubur diambil mereka dan
dipergunakannya untuk menentang imperialisme, dan tentulah mereka jadi hancur
luluh.
Meski Afd. B. dari S.I. berhasil kiranya
merangkak-rangkak di bawah tanah lebih lama dan pada waktu yang diperkirakan
tepat lalu menyerbukan diri ke dalam perjuangan, ia tidak akan mendapat hasil
selain dari pemberontakan dan huru-hara agama seperti yang sudah berulang-ulang
terjadi di Indonesia.
Organisasi S.I. mati ketika kaum
revolusioner Semarang di tahun 1921 membuang disiplin partai (trade mark Haji
A. Salim). Apa yang terjadi sesudah itu tak lain dari perpecahan anggota S.I.,
yang paling aktif pergi masuk S.R. dan P.K.I. Golongan Muhammadiyah dengan
segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah "kafir"
untuk sekolah Islam. Kedua Haji yang termashur itu — Agus dan Tjokro — tak
dapat lagi meniup gelembung sabun Islam dengan patgulipat syariat yang lama dan
yang baru dipikir-pikirkannya.
2. Bagaimana Sekarang?
Di dalam perjuangan yang luar biasa
beratnya selama beberapa tahun yang lalu, berhasillah P.K.I. dan S.R.
menghimpun kaum buruh dan revolusioner dari B.U., N.I.P., dan S.I. untuk
bernaung di bawah panji-panjinya. Tak ada partai lain yang sudah memberikan
korbannya seperti P.K.I. dan S.R. Beribu-ribu anggota yang sudah tertangkap,
berpuluh-puluh yang sudah dibuang, dipukul atau dibunuh. Sungguhpun begitu,
masih diakui BENDERA-nya di seluruh pulau, bukit, gunung, kota dan desa
(Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang sekian lama
diidam-idamkan.
Dalam beberapa aksi daerah untuk tujuan
yang kecil-kecil, P.K.I. dan S.R. sudah menunjukkan kekuatan dan kecakapannya.
Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum (apalagi di lapangan
internasional), mereka betul-betul belum kuasa. Hal ini, atas nama kemerdekaan
55 juta manusia, tak boleh didiamkan. Kalau mereka berbuat seperti itu pula,
niscaya akan berarti menjatuhkan diri ke dalam kesalahan seperti yang
terus-menerus dilakukan oleh partai-partai borjuis (terutama partai Tjokro
& Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan
tahun yang lalu, kita tidak menunjukkan perasaan tak senang. Kini sesudah lebih
delapan bulan masih saja belum ada sesuatu yang terjadi. Manakah rakyat yang
beratus ribu atau berjuta-juta di jawa, Sumatera, Sulawesi yang langsung
berdiri di bawah pimpinan atau tunduk ke bawah pengaruh kita? Kemanakah
perginya, dalam waktu delapan bulan itu, kaum revolusioner yang setia terhimpun
di dalam V.S.T.P, S.P.P.L., S.B.G., S.B.B. dan lain-lain, serta beberapa juta
yang tidak diorganisasi tetapi yang bersimpati kepada kita? Adakah kita dengan
segera mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas kelahiran Larangan
Berkumpul, masa penangkapan dan
pembuangan serta kematian saudara
Soegono, Misbach dan lain-lain dengan satu aksi massa yang sepadan, tetapi
dijalankan dengan gembira.
Tidak, kita sekali-kali tak menangkis
serangan lawan sehingga timbul sekarang pertikaian yang tak dapat
dihalang-halangi dalam barisan revolusioner, dan anggota yang berdarah anarkis
mengambil jalan sendiri serta menarik kawan-kawannya. Selain seksi-seksi kita
yang baik, yang sangat diharapkan, seperti Sumatera Barat, Medan, Semarang,
Surabaya, (semuanya mana yang tidak?) menderita keputusan dan kelemahan
organisasi yang tak mudah ditolong lagi.
Bila kita membalas Ultimatum Desember
dari imperialis Belanda dengan sepak terjang komunistis yang sempurna,
niscaya kekalahan kita tidak seperti sekarang. Sebusuk-busuknya pengorbanan materiel
(penangkapan, pembuangan, pembunuhan), tak akan lebih besar dari sekarang,
tetapi kemenangan politik dan moral niscaya tinggal tetap. Dan siapakah yang
dapat mengatakan apa yang bakal kita peroleh dalam keadaan yang sebaik-baiknya?
Bagaimana larangan berkumpul tidak kita
jawab secara komunistis dan selama delapan bulan itu kita terpaksa kerja di
bawah tanah. Pada waktu itu, kita kehilangan kawan yang sebaik-baiknya dengan
percuma, selain itu, saat-saat yang sangat bahagia, terutama psikologi yang susah
kembali dan masih banyak.
Di sini bukan tempatnya memperbincangkan
hal itu lebih lanjut, pun bukan tempat untuk memeriksa kepada siapa patutnya
dipikulkan kesalahan itu: pada seksi-seksi, pada pimpinan atau pada lain hal?
Biarlah kita serahkan hal ini kepada "riwayat" dan kepada organisasi
yang kelak menyelidiki, mengapa kesempatan yang sebaik-baiknya itu kita biarkan
saja lenyap. Di sini pun bukan tempatnya untuk mengumumkan kekuatan laskar kita
saat ini, serta pengaruh kita terhadap massa dalam keadaan yang sulit ini;
demikian pun, maksud-rnaksud kita dan taktik kita pada yang akan datang, juga
karena kita sekarang terpaksa bekerja di bawah tanah (ilegal). Jadi,
untuk kepentingan pergerakan, sangat banyak yang mesti dirahasiakan, yang di
belakang hari akan kita ceritakan kepada kawan-kawan seperjuangan dan kepada
mereka yang menyetujui kita (Harap diperhatikan sungguh-sungguh! Maksud kita
aksi
massa dan bukan putch!).
Harap dicamkan sekali lagi bab IX.
Semestinya kita dengan segera mengorganisasi dan memimpin pemogokan dengan
tuntutan yang cocok dan semboyan-semboyan yang jitu untuk menentang dan
menjawab larangan berkumpul itu.
Sekiranya dari aksi seperti itu pecah
revolusi, kita mesti terima. Berpikir dan berbuat lain dari yang seperti itu
tidaklah komunistis!
Pekerjaan "ilegal" penuh
dengan bahaya. Sambil lalu hal itu patut dan mesti juga kita uraikan di sini.
Pekerjaan legal dan hanyalah pekerjaan legal yang melahirkan organisasi,
pembicara, organisator dan pemimpin. Majalah, partai dan pidato-pidato yang
legal dapat mendidik bangsa kita yang tercecer itu melalui cara yang berfaedah
sekali untuk jadi ahli politik dan menghidupkan pikiran umum revolusioner yang
penting itu. Sebaliknya, di dalam satu negeri yang sedang dalam transformasi
seperti Indonesia, pekerjaan ilegal mudah sekali terperosok ke dalam anarkisme,
huru-hara atau kepercayaan akan jimat yang sangat merugikan itu. Segala macam
yang bersangkutan dengan organisasi dan ideology yang sudah lama kita peroleh
akan lenyap kembali disebabkan ilegalitas yang "tidak pada waktunya".
Provokasi lawan mudah menjatuhkan pemimpin-pemimpin kita yang kurang
berpengalaman dan juga menghancurkan organisasi sama sekali.
Organisasi legal "harus
bersedia" untuk menciptakan suatu organisasi ilegal pada waktu revolusi.
Hubungan rahasia, rapat rahasia, percetakan rahasia, dan markas mencetak
rahasia. Apabila larangan berkumpul dan berorganisasi sekonyong-konyong
dikeluarkan, organisasi itu harus bekerja terus dengan teratur. Organisasi
ilegal mesti selamanya berhubungan dengan massa dan tak boleh sekali-kali
memisahkan diri darinya. Ia mesti senantiasa mengetahui perasaan dan keinginan
massa. Karena itu, is mesti mempunyai badan-badan yang cukup dan orang-orang
yang bekerja pada badan partai "bona fido", yaitu perkumpulan-perkumpulan
yang masih diizinkan oleh pemerintah. Kalau tidak berhubungan dengan massa dan
keadaan yang sesungguhnya, sama halnya dengan sebuah kapal. selam yang tidak
mempunyai kaleidoskop.
Dengan bekerja legal atau ilegal, kita
tak boleh sekalikali melupakan senjata revolusioner kita, yakni aksi massa yang
teratur. Larangan berkumpul dan bersidang harus kita patahkan dengan aksi massa
kita yang teratur, supaya "atas" pemandangan yang dalam dan tenaga
yang besar dapat diteruskan barisan kita menuju kemerdekaan yang sepenuhnya.
Apakah kita memang bekerja di bawah
tanah? Pertanyaan seperti itu berulang-ulang timbul kepada kita. Ini
berhubungan dengan soal pernahkah kita mempunyai tenaga yang cukup di dalam
partai, yang tidak menghiraukan segala rintangan, setia menjalankan aksi massa
yang teratur. Seterusnya, apakah pendidikan Marxistis benar dan cukup lama
dijalankan sehingga kaum buruh kita sudah mempunyai kemantapan
Marxistis, kelenturan Leninistis? Bila
hal ini tidak dan belum terjadi, niscaya satu ilegalitas yang dipaksa akan
menimbulkan kakacauan dalam seluruh gerakan revolusioner di Indonesia. Kaum
yang bukan buruh akan memegang komoditi dan menuntun partai kepada putch atau
anarkisisme sehingga akhirnya hancur sama sekali. Bahaya ini akan semakin besar
karena pemimpin revolusioner yang ulung dan berpengaruh atas massa
sebentar-sebentar dibuang dari Indonesia, sedangkan reaksi tambah lama tambah
sengit.
Karena itu, kita berhadapan dengan satu
krisis revolusioner yang tak mudah dipahami oleh orang luar.
Kini kebutuhan bukan pada keberanian
semata-mata melainkan terlebih lagi, "pengetahuan revolusioner dan
kecakapan mengambil sikap revolusioner".
Imperialisme Belanda berniat betul-betul
menghancurkan organisasi revolusioner: Delenda est Chartago (Chartago
mesti dihancurkan). Dan jawablah sekarang atau nanti (selama-lamanya) segala
daya upaya musuh untuk menghancurkan kita; dengan jalan aksi massa yang
teratur, pastilah kita menuju kepada kemenangan!
3. De Indonesische Studieclub
Sampai saat ini saya belum beruntung
untuk mengetahui apakah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Indonesische
Studieclub dan alat apakah yang akan dipakainya untuk melaksanakan maksudnya.
Keterangan "majalah bulanan dari studieclub" tidak berarti apa pun
bagi saya.
Keterangan itu terlalu gelap, terlalu
elastis dan sangat kurang. Karena itu, ia tak boleh dianggap sebagai satu
"dasar" nasional buat perjuangan yang
praktis. Suluh Indonesia mengumumkan sekian banyak pandangan yang
bermacam-macam. Akan tetapi, dengan perantaraan ini, kita tak juga dapat
mengambil kesimpulan apakah hal itu dilakukan dengan sengaja atau hanya
sulap-sulapan karena, kadang-kadang, studieclub dapat bercerita menurut
kebiasaan intelektual Indonesia, bahwa "di dalam kegelapan tersembunyi
penerangan". Dari pidato Mr. Singgih seperti yang diumumkan di dalam Suluh
Indonesia dan majalah lain-lain dapat kita "raba-raba" sedikit
(tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan konco-konconya mempunyai maksud
yang menyerupai nonkoperasi. Jadi, belum pasti! Kesan saya secara
umum,
Mr. Singgih seakan-akan lebih bersikap
sebagai seorang advokat yang menarik diri terhadap anggota-anggota pemerintah
yang mengintip-intip daripada sebagai seorang duta dari sebuah cita-cita baru
yang menyala-nyala untuk berjuta-juta budak berian. Sebuah politik yang dapat dipahami,
tetapi menurut pemandangan saya, mendatangkan kerugian yang tidak kecil.
Menurut pengalaman, rasanya dapat kita ketahui bahwa rakyat kita yang sederhana
ini tidak suka "lempar batu sembunyi tangan", tidak suka paham-paham
yang muskil dan menghabiskan waktu untuk membalas kata-kata yang kosong. Rakyat
kita menghendaki perkataan yang terang dan pas. Kalau tidak begitu, ia akan
tetap meraba-raba dan menduga-duga dan tak kan dapat diajak mengadakan aksi.
Juga saya tak mengenal isi Studieclub
yang borjuis itu. Tetapi, sesudah dua puluh lima tahun pergerakan
kebangsaan, patutlah kita mempunyai satu ketentuan. Bukankah kita tak boleh
menganggap bahwa kaum terpelajar Studieclub akan tinggal berabad-abad di dalam laboratorium
sosial — mengupas-ngupas dan mematut-matut saja? Karena itu, biarlah kita
menganggap untuk sementara waktu bahwa Studieclub "menghendaki"
kemerdekaan nasional dan ia mau memakai senjata nonkoperasi. Akan tetapi,
dengan sebab-sebab yang sudah kita maklumi, hal-hal itu sementara waktu
dirahasiakan dulu. Jika sungguh seperti itu, kita akan gembira dan sejauh dan
sepantas mungkin akan kita sokong dengan sepenuh tenaga sebab nonkoperasi
termasuk sebagian dari aksi kita yang termasuk ke dalam program aksi, dan kita
anggap sebagai penambah pemogokan dan demonstrasi.
Tetapi masih jadi satu pertanyaan besar,
apakah nonkoperasi saja — meskipun ia, baik dalam politik maupun ekonomi, dapat
dijalankan dengan sempurna dapat mendatangkan hasil bagi Indonesia secara
umunmya. Perihal ekonomi dan pemboikotan, kita persilakan pembaca melihat
uraian-uraian di muka. Bagian ekonomi dan pemboikotan itu di Indonesia
(terutama di Jawa) sangat meminta perhatian dan bila kita tidak keliru, belum
pernah sekali juga dibicarakan dalam Studieclubsesungguhnya, inilah
tanda kelemahan nonkoperasi Studieclub.
Pemboikotan tanpa disertai bagian
ekonomi merupakan pekerjaan yang terlampau khayal dan jauh dari memadai.
Meskipun demikian, biarlah kita mengalah. Bahwa nonkoperasi politik saja yang
dapat membawa kemenangan politik, biarlah tetap tinggal sebagai perumpamaan;
dengan boikot ekonomi, kita dapat mencapai tujuan politik.
Kini tinggal soal yang terpenting,
bagian manakah dari penduduk Indonesia yang mesti digerakkan oleh Studieclub
yang akan memutuskan hubungan "kerja sama" dengan imperialisme
Belanda.
Di sinilah sendinya! Kita tidak
berhadapan dengan satu negeri yang pemerintahannya sama sekali ataupun sebagian
kecil dikemudikan oleh wakil-wakil rakyat, seperti di Filipina, Mesir dan
sekarang di India. Jadi, kita tak mempunyai satu pemerintahan yang
"bergerak" (boleh diturunkan dan dinaikkan dengan jalan
pemilihan"), tetapi sebuah kolonial birokrasi yang berkarat mati. Untuk
menimbulkan keributan yang
berarti dalam politik, kita harus lawan
dan robohkan birokrasi itu mulai dari sendi-sendinya. Jadi, mestilah kita
mendekati pegawai-pegawai, seperti bupati, wedana, demang, jaksa dan guru-guru
sekolah supaya masing-masing meletakkan jabatannya.
Kita secara apriori percaya bahwa hal
itu tidak mungkin sama sekali, dan sementara waktu janganlah diberi bukti
aposteriori. Sungguh terang sekali bahwa bupati itu konservatif dan pasti
merangkak-rangkak di bawah kursi, menjilat pantat Belanda serta takutnya kepada
bangsa Eropa lebih dari yang semestinya. Mereka ditempel oleh
saudara-saudaranya dan biasanya banyak utang; karena itu, mereka akan
bergantung seteguhteguhnya kepada gaji mereka. Mereka "terlampau
suka" memerintah dan merasa terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan
dan bersekongkol dengan rakyat yang mau mengadakan huru-hara. Wedana dan jaksa
pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi, sangat haus pangkat yang tinggi;
sebab itu, mereka lebih "perangkak" dan "penjilat" daripada
pegawai Indonesia yang lebih tinggi.
Kita percaya bahwa Mr. Singgih dan
teman-temannya akan mengerjakan pekerjaan yang tak terhingga beratnya untuk
mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu; seterusnya, memperoleh kemerdekaan
nasional atau konsesi politik yang besar-besar.
Tinggal lagi bagi Studieclub nonkoperasi
terhadap rapat kota. Kita rasa perbuatan itu tak cukup keliru sama sekali! Kita
rasa lebih berguna bila Dr. Soetomo dan teman-temannya tetap duduk di dalam
rapat kota Surabaya, yaitu badan imperialis satu-satunya yang boleh dimasuk bangsa
Indonesia dengan pemilihan langsung (meskipun sangat terbatas) dan dapat
mengemukakan sesuatu dengan leluasa. Di sana Dr. Soetomo dan teman-temannya
dengan pengetahuannya yang luas tentang segala tipu-muslihat pihak sana, dengan
mengadakan perlawanan yang tidak putus-putus dan kritik terhadap si pemegang
kekuasaan, akan berhasil "menyusahkan" kedudukan rapat kota.
Setelah memperhatikan semua yang
tersebut di atas, sesungguhnya kita sangat menyesali politik dan aksi
Studieclub yang dilakukannya sampai sekarang ini. Jika Studieclub tidak
"mengambil semua atau sebagian dari program buruh kita" (kita
mengatakan ini bukan karena mau merendahkan atau menyakitkan hati kaum
terpelajar Studieclub), niscaya ia akan menerima nasib sebagai B.U. dan N.I.P.
Sebab hubungan sosial antara imperialisme Barat dengan bangsa Indonesia yakni
borjuasi bumiputra yang kuat "tidak ada", maka menciptakan satu modus
vivendi politik adalah sebuah pekerjaan yang belum dimulai. Studieclub
besok atau lusa niscaya akan berhadapan dengan dilema sebagaimana yang sudah
dialami oleh partai-partai borjuis, yaitu:
(1) kerja sama dengan Pemerintah
Belanda, dan dengan demikian berarti mengikuti politik imperialisme Belanda;
atau
(2) kerja sama dengan rakyat yang
sebenarnya, merebut kemerdekaan yang seluas-luasnya, dan dengan demikian, ia
akan menjadi partai massa buruh serta berpikir secara buruh. "Politik sama
tengah, liberal, bagi Studieclub berarti 'politik matt'."
(3) Politik perlawanan seperti no.2 itu
kita yang anjurkan kepada Dr, Soetomo, Mr. Singgih dan teman-temannya bila
mereka kelak diangkat atau dipilih oleh pemerintah anggota Dewan Rakyat.
(4) Jadi, kaum terpelajar Studieclub
mestilah membuang cara berpikir berjuang, bercita-cita untuk revolusi borjuis
atau pemerintahan borjuis, tapi menjadi buruh, yaitu memakai cara pikiran buruh
dialektis-materialistis dan berjuang buat kepentingan kaum buruh
XI
FEDERASI REPUBLIK INDONESIA
Meskipun atas kehendak kita
sendiri, kita tidak akan membatasi aksi kita "hanya" pada kemerdekaan
bangsa Indonesia yang terhindar oleh imperialisme Belanda. Pembatasan seperti
itu akan segera menyempitkan kita di dalam arti ekonomi, strategi dan politik.
Kekuasaan atas Semenanjung
Tanah Melayu dengan pusat armada Singapura di dalam tangan imperialisme Inggris
bagi kita sebagai satu "strategisch Umfasung" senantiasa
memaksa kita menjauhi medan perjuangan. Umfasung ini dilengkapi dengan
Australia putih yang anti kulit berwarna di sebelah selatan.
Dalam arti ekonomi,
semenanjung bagi kita adalah sangat penting sebab negeri itu sudah menjadi
pasar terbesar bagi berbagai macam hasil bumi Indonesia; tambahan pula, banyak
hubungannya dengan seluruhnya. Kedudukan kita di antara Malaya dengan
Australia, dan capital Inggris yang sangat besar di Indonesia, membesarkan dan
mengekalkan perhatian politik imperialisme Inggris atas segala kejadian di
Indonesia. Kita tak akan dapat merampas kemerdekaan Indonesia tanpa keributan,
dan bila ribut, serdadu Inggris tentulah akan siap dengan senapannya.
Tetapnya kedudukan Amerika
di Indonesia-Utara (Filipina) bagi kita lebih berbahaya daripada yang dapat
diduga oleh seorang Indonesia biasa. Strategi kita tetap terancam, baik dari
utara maupun dari selatan oleh imperialisme modern. Ekonomi Filipina yang mengeluarkan
hasil bumi seperti Indonesia-Selatan menjadi persaingan yang hebat. Pendeknya,
selama politik Indonesia masih terpecah-pecah jadi beberapa bagian seperti
sekarang (bagian Belanda, Inggris, Amerika), tak akan dapat diadakan persatuan
aksi ekonomi, seperti menetapkan harga maksimum hasil bumi dari negeri-negeri
tropik ini di pasar-pasar dunia. Kemerdekaan kita, bagi Paman Sam yang mungkin
sekali berniat untuk selama- Iamanya duduk di Filipina, bukanlah satu soal
"filsafat" politik saja.
Indonesia merdeka yang
sekarang meringkuk di bawah imperialisme Belanda akan dihormati oleh bangsa
Indonesia-Utara dengan gembira dan akan menyebabkan timbulnya agitasi baru
untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi mereka. Filipina dalam genggaman
Jepang tidak bagus bagi kita.
Sebaliknya, lambat laun ia
berarti "penaklukan kita bersama" kepada kawanan perampok Asiria
modern. Satu pusat persatuan antara seluruh bangsa Indonesia, yakni Indonesia
kita. Semenanjung dan Filipina — tak usah dibicarakan dulu Kepulauan Oceania
dan Madagaskar yang jumlahnya tidak sedikit — adalah sine qua non, sarat
untuk merampas dan menjaga kebebasan kita. Celaka sungguh, bangsa Indonesia di
Semenanjung Malaka tak dapat mempertahankan diri dari kebanjiran bangsa India
dan Tiongkok yang terus mengalir ke sana. Perniagaan industri boleh dikatakan
semuanya ada di tangan asing. Bumiputra di kota-kota pesisir senantiasa didesak
ke pinggir kota, dan yang tinggal di darat makin hari makin jauh menyingkir ke
puncak-puncak gunung.
Pabrik-pabrik kereta api,
kantor-kantor gubernemen dan perniagaan sama sekali ada di tangan bangsa asing.
Orang perantauan dari Jawa, Sumatera, Borneo dan Sulawesi terlampau sedikit dan
terlampau lemah kekuatannya untuk mengadakan perjuangan ekonomi melawan bangsa
Benua Asia yang biasanya pandai bekerja, hidup sederhana dan kompak. Proses
pendesakan bangsa Indonesia dalam hal kediaman, ekonomi,
politik dan negeri
menyebabkan lahirnya sebuah pergerakan baru di sana. Satu perkumpulan
orang-orang Indonesia yang bernama "Kesatuan- Melayu" menguntungkan
dan mesti kita perhatikan yang segala daya dari orang Indonesia di Semenanjung
untuk pertahanan dan politik.
Meskipun masih suram dalam
perkataan dan ragu-ragu dalam aksi, sebuah badan politik seperti itu haruslah
dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan mesti kita perhatikan dengan
perhatian yang sepenuh-penuhnya. Segenap daya upaya mengembang dan menciptakan
suatu Persatuan Indonesia Raya di seluruh Kepulauan lndonesia "mesti dan
perlu" ada dan didirikan. Tambahan lagi, boleh diharapkan bahwa besok atau
lusa bangsa Indonesia-Semenanjung akan berikhtiar melahirkan satu pergerakan
yang maksudnya akan memindahkan bangsa Indonesia Selatan ke sana.
Dengan jalan serupa itu, dapatlah dibatasinya proses pendesakan itu dan
diciptakannya satu dasar tempat Indonesia merdeka "bersandar"
dan akhirnya akan mewujudkan Kemerdekaan Semesta-Indonesia. Filipino yang terletak di antara Sciylla, Amerika
dan Charyb di Jepang, strategis, "sepenting-pentingnya di Pasifik"
bagi 12.000.000 orang Indonesia di sana sungguh menjadi satu soal yang
memutuskan harapan untuk merebut kemerdekaan nasional. Kedudukan Filipina
terlalu penting, sedangkan jumlah penduduknya
terlalu sedikit untuk dapat mengusir musuh selama-lamanya. Karena itu, memang
sudah pada tempatnya jika mereka merasa sangat
bersyukur oleh imigrasi dari Indonesia-Selatan ke sana sebab para imigran itu
dalam sedikit waktu saja dididik bergaul
niscaya akan jadi satulah dengan mereka.
Sebagai bangsa satu keturunan, Filipina
dengan Indonesia Selatan tentulah tidak akan berselisih rupa, muka, hidung,
percakapan, kesukaan dan kemauannya bekerja, juga mempunyai perhubungan bahasa
yang tak dapat disangka.
[1] Imigrasi dari Indonesia-Selatan
sekali-kali bukanlah akan berarti "penjajahan" atas bangsa Filipina,
baik dalam hal ekonomi, kebudayaan, politik atau apa pun juga. Sebaliknya,
imigrasi itu berarti menguatkan bangsa itu.
Hanya saja imigrasi tentu tidak akan
diizinkan oleh imperialisme Belanda. Pergaulan antara bangsa Indonesia-Selatan
yang berabad-abad lamanya dijajah dan diabui matanya dengan bangsa
Indonesia-Utara yang mempunyai lebih banyak kemerdekaan dalam perekonomian
politik dan kebudayaan, bukankah sebentar saja akan membukakan mata mereka dan
membangunkan semangat revolusioner? Meskipun bangsa Filipina berhubung dengan pertimbangan ekonominya
(tingkat penghidupan yang lebih tinggi) — menentang imigrasi kaum buruh dari
Benua Timur tetapi mereka setuju dengan imigrasi dari Indonesia-Selatan biarpun
besar jumlahnya. Bangsa Filipina sangat sulit memungkiri riwayatnya sendiri
sebab mereka pun adalah bangsa Indonesia-Selatan; Jawa, Sumatera, Semenanjung
dan lain-lain juga pindah ke sana.
Kejadian ini bagi kita sekarang dan
seterusnya sangat penting karena hal itu adalah salah satu sendi persatuan dan
kerja pertama di masa yang akan datang. Selain itu, tidak kecil pula artinya
politik Filipina yang bekerja bersama dengan kita. Kebanyakan pemimpin politik
yang besar pengaruhnya pernah berkata kepada kita bahwa mereka sangat
menanti-nantikan "All Indonesian Conference" yang pertama.
Tetapi sayang kita sekarang tidak sempat. Sesungguhnya inilah waktu yang baik
untuk meletakkan batu pertama di atas gunung "Persatuan seluruh bangsa
Indonesia".
Marilah kita mulai, dari menit ini,
dengan sungguh-sungguh dan gembira bekerja untuk menjadikan sebagai tujuan kita
yang penghabisan:
pendirian "Federasi Republik
Indonesia" (FRI) di dalam arti yang sebenarnya adalah persatuan dari
100,000,000 manusia yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan perhubungan
seluruh Benua Asia dan samuderanya. Selain itu, ia berarti telah memusatkan
semua hasil bumi negeri-negeri panas; dan bersamaan dengan itu, pembangunan
kebudayaan baru, yakni kebangunan satu bangsa dan kekuasaan baru di Timur.
Oleh karena itu, ia akan menjadi pokok semangat
baru yang tak tertahan-tahan bagi bangsa Asia yang jumlahnya lebih dari
1,000,000,000 dan haus akan kemerdekaan; dan ia berarti pula kerugian yang tak
dapat diperbaiki oleh penjajahan putih.
Bangsa Indonesia-Selatan yang
menghendaki kemerdekaan pasti mengerti benar tugas dan akibat dari perbuatan
serta kemenangannya. Mulai sekarang ia harus menumbuhkan semangat juang
terhadap imperialisme Barat, baik dalam politik perdagangan ataupun militer.
Jangan sekalikali kita mundur atau meninggalkan perjalanan yang dicita-citakan.
Singsingkanlah lengan baju dengan segera
buat menghidupkan serta menyatukan semua kekuatan nasional; seterusnya,
ciptakan satu pertalian dengan bangsa Indonesia yang lain, yang anti-imperialis
Barat atau Timur.
Akan tetapi, jangan kita menggantungkan
diri semata-mata kepada pertolongan luar negeri. Hendaknya kita berkeyakinan
kepada kekuatan sendiri dari awal sampai akhir.
[1] Sebelum bangsa Spanyol datang di
Filipina, bahasa Melayu menjadi bahasa politik yang resmi di seluruh Filipina,
menjadi lingua francab antar pulau yang berjumlah tak kurang dari dua ribu
buah. Akan tetapi, politik devide et impera bangsa Spanyol membunuh bahasa itu.
Selain itu, karena "Utusan Tuhan" itu mengembangkan segenap dialek
yang ada di tiap-tiap pulau-pulau dan daerah di Filipina, dan mereka juga
menghapuskan bahasa Melayu, maka lenyaplah bahasa politik yang resmi tadi.
Setelah bahasa pergaulan itu mati maka lambat laun mati pula
rasa persatuan di antara penduduk
sehingga akhirnya Spanyol dapat mengadu domba mereka. Itulah sebabnya maka
hingga kini sangat susah untuk membangun persatuan nasional.
KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER
Sebuah tugas yang berat tapi
suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang Indonesia untuk
memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan
memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman yang lalu, zaman
penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian" yang gelap itu,
tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja
antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang
dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan
masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang
"rasional" sebab
pengetahuan dan cara
berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan
tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita
kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan
pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung
nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa
manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju
kepada kebenaran. Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat
serta kebenaran bangsa Timur. Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan
pencerahan, kemauan kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat
yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam
sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban
atau kekeramatan Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan
asal mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam
masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya,
mencoba berjuang, kalah atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang
dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan
semangat budak dan buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran
semata.
Manusia mesti mematahkan
semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti
merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan
pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya.
Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan
kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau
bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.
Tetapi kamu orang Indonesia
yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala
"kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja
kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat
budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu
persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecahpecah itu,
dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme.
Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan,
kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak
boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa
kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru
orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti
kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum bangsa Indonesia
mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia
tamat dari sekolah Barat.
Karena itu, janganlah
menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang
dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu
katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir
orang Barat.
Sekurang-kurangnya
masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang dari Newton,
Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga. Pada waktu ini sungguh sia-sia dan
tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah "lebih pintar" dan
tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui. Pun jika
perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang melupakan ajaran gurunya.
Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi seorang
murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar takhayul yang
masih berbelit-belit dalam kepalamu.
Bila sekalian keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap
orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan pikiran "baru" dengan
sempurna.
Jadi, janganlah bimbang merampas
kemerdekaan bila kamu ingin jadi seorang murid Barat. Juga jangan dilupakan
bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak
ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri! Bagi bangsa Indonesia, manusia tiada
harapan akan memperoleh kemajuan bila berada di bawah tumit imperialisme
Belanda. Bila seseorang ingin menaiki tangga sosial dan
kebudayaan, haruslah ia merdeka lebih
dulu. Adapun paham tentang kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan
dipergunakan. Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaklah
merdeka dengan mernakai senjata Barat yang rasional. Apabila sudah dapat
memakainya, barulah ia dapat menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan
rasional.
Kemudian kecakapan dan kemauan menurut
alam dapat tumbuh, dan dengan itu pula kekayaan tanah Indonesia yang tak
terkira itu dapat diusahakan dan dipergunakan buat keluhuran bangsa Indonesia
yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah tapak kaki Belanda.
Karena itu, wahai kaum revolusioner,
siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang
berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai
massa proletar.
Tunjukkan kepada tiap-tiap orang
Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam
hal materi dan ide.
Panggil dan himpunkanlah orang-orang
yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji
revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu
hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di
sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah
tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah
kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu
satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang
haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan
bersungguh hati.
Kamu, ahli pidato pahlawan Homerus
modern, berserulah di tengah-tengah massa yang tak sabar menanti-nantikan
kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan.
Dan dengan pidatomu itu, tegakkanlah
mereka yang lemah, bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan
yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang berdiri; itulah
kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putera tumpah darahnya. Di
situlah tempatmu berdiri dan berdiri, di situ sampai nyawamu dicabut oleh
peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan hina itu.
Itu kewajibanmu!
Kamu pahlawan dari angkatan
revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus
itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya,
patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas bentengnya itu. janganlah
kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun. Lindungi
bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang
selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.
Biarlah yang tersebut di atas itu
senantiasa menjadi kenang-kenangan bagi kita semua. Bersama massa, kita
berderap menuntut hak dan kemerdekaan.
LAMPIRAN: RANCANGAN UNTUK PROGRAM PROLETAR
DI INDONESIA
A. Politik
1. Kemerdekaan Indonesia
dengan segera dan mutlak.
2. Mendirikan satu Republik
Federasi dari berbagai-bagai pulau di Indoesia.
3. Dengan segera mengadakan
Rapat Nasional, yang mewakili semua golongan rakyat dan agama-agama di seluruh
Indonesia.
4. Dengan segera memberikan
hak memilih yang penuh kepada penduduk Indonesia, laki-laki dan perempuan.
B. Ekonomi
1. Menjadikan milik nasional
pabrik-pabrik, tambang-tambang, seperti tambang batu arang, minyak dan emas.
2. Menjadikan milik nasional
hutan-hutan dan kebun-kebun besar modern seperti kebun gula, karet, teh, kopi,
kina, kelapa, nila dan ketela.
3. Menjadikan milik nasional
alat-alat pengangkutan dan lalu lintas.
4. Menjadikan milik nasional
bank-bank, kongsi-kongsi dan maskapai-maskapai dagang yang besar-besar.
5. Elektrifikasi seluruh
Indonesia dan mendirikan in dustri-industri baru dengan bantuan negara, misal
nya pabrik tenun, mesin dan perkapalan.
6. Mendirikan
koperasi-koperasi rakyat dengan mem berikan pinjaman yang murah oleh negara.
7. Memberikan ternak dan
perkakas kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya dan mendirikan kebun
percobaan negeri.
8. Memindahkan rakyat
besar-besaran dengan ongkos negara dari Jawa ke tanah seberang.
9. Membagi-bagikan tanah
yang kosong kepada tani yang tak bertanah dan miskin dengan memberikan sokong
an uang untuk mengusahakan tanah itu.
10. Menghapuskan sisa-sisa
feodal dan tanah-tanah par tikelir dan membagikan yang tersebut belakangan ini
kepada tani-tani yang miskin.
C. Sosial
1. Menetapkan gaji minimum,
tujuh jam bekerja dan mem perbaiki syarat-syarat bekerja dan penghidupan buruh
itu.
2. Melindungi buruh dengan
mengakui hak mogok dari kaum buruh.
3. Buruh mendapat bagian
dari keuntungan industri besar-besar.
Mendirikan rapat-rapat buruh
pada industri besar besar.
5. Memisahkan negara dari
Gereja ataupun Masjid dan mengakui kemerdekaan agama.
6. Memberikan hak sosial,
ekonomi dan politik kepada tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki mau
pun perempuan.
7. Menjadikan milik nasional
rumah kediaman yang be sar-besar, mendirikan kediaman baru dan membagi -bagikan
kediaman kepada pekerja negara.
8. Memerangi sekuat mungkin
penyakit-penyakit me nular.
D. Pengajaran
1. Pengajaran diwajibkan dan
diberikan secara Cuma- cuma kepada setiap anak-anak warga negara Indone sia
sampai berumur 17 tahun, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan
bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.
2. Meruntuhkan sistem
pengajaran yang sekarang, dan mengadakan sistem baru, yang berdasarkan langsung
atas kebutuhan industri yang ada atau yang bakal dia dakan.
3. Memperbaiki dan
memperbanyak sekolah pertukang an, pertanian dan dagang dan memperbaiki serta
memperbanyak sekolah teknik tinggi dan sekolah un tuk pengurus tata usaha.
E. Militer
1. Menghapuskan tentara
imperialistis dan menjalankan milisi rakyat untuk mempertahankan Republik Indo
nesia.
2. Menghapuskan aturan
tinggal dalam tangsi atau kampemen dan semua aturan yang merendahkan
serdadu-serdadu bawahan, dan memperkenan kannya tinggal di kampung-kampung dan
di rumah yang bakal didirikan untuknya, memberi perlakuan yang baik dan
memperbesar gajinya.
3. Memberikan hak penuh
untuk mengadakan organi sasi dan rapat kepada serdadu-serdadu bawahan.
F. Polisi dan Justisi
1. Memisahkan pamong praja,
polisi dan justisi.
2. Memberikan hak penuh
kepada tiap-tiap orang yang didakwa untuk membela dirinya di depan pengadil an
dari serangan undang-undang dan membebaskan yang didakwa itu dalam 24 jam, jika
bukti-bukti dan saksi kurang cukup.
3. Tiap-tiap perkara yang
mempunyai dasar yang sah, harus diperiksa dalam lima hari di pengadilan yang
terbuka, tertib dan pantas.
G. Program Aksi
1. Menuntut tujuh jam
bekerja, gaji minimum dan syarat bekerja yang lebih baik bagi dan penghidupan
kaum buruh.
2. Mengakui Serikat Sekerja dan hak
mogok.
3. Pengorganisasian buruh untuk hak
ekonomi dan politik.
4. Menghapuskan poenale sanctie.
5. Menghapuskan undang-undang dan
peraturan yang menindas gerakan politik, seperti hak luar biasa, la rangan
mogok, larangan pers, larangan rapat dan larangan memberi pengajaran, dan juga
mengakui ke merdekaan bergerak yang sepenuh-penuhnya.
6. Menuntut hak berdemonstrasi,
dikuatkan oleh mas sa-demonstrasi di seluruh Indonesia untuk pelawan penindasan
ekonomi dan politik, seperti melawan peraturan pajak, dan menuntut dengan
segera pem bebasan orang-orang buangan politik; aksi massa tersebut harus
dikuatkan oleh pemogokan umum dan massa yang tak menurut perintah.
7. Menuntut penghapusan Volksraad Raad
van Indie dan Algemeene Secretaris, dan membentuk Rapat Nasional. Majelis
Nasional yang darinya akan dipi lih Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada
Rapat Nasional
saya memposting buku ini kedalam blog saya bukan karena ingin menjiplak atau segala macamnya tapi hanya sekedar ingin berbagi, agar semua bisa membaca dan untuk menambah rasa nasionalis setiap pembacanya
sekian dan terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar